Dongeng Fabel Kuda, Kancil dan Gajah

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Cerita Dongeng Fabel Kuda, Kancil dan Gajah, Semut dan Cicak...

Showing posts with label Legenda. Show all posts
Showing posts with label Legenda. Show all posts

Cerita Legenda Asal Usul Selat Bali

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang cerita Legenda Manik Angkeran Asal Usul Selat Bali, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Alkisah pada jaman dulu kala di kerajaan Daha hiduplah seorang Brahmana yang benama Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang Widya atau Batara Guru menghadiahinya Harta benda dan seorang istri yang cantik. Sesudah bertahun-tahun kawin, mereka mendapat seorang anak yang mereka namai Manik Angkeran.

Meskipun Manik Angkeran seorang pemuda yang gagah dan pandai namun dia mempunyai sifat yang kurang baik, yaitu suka berjudi. Dia sering kalah sehingga dia terpaksa mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya, malahan berhutang pada orang lain. Karena tidak dapat membayar hutang, Manik Angkeran meminta bantuan ayahnya untuk berbuat sesuatu. Sidi Mantra berpuasa dan berdoa untuk memohon pertolongan dewa-dewa. Tiba-tiba dia mendengar suara, “Hai, Sidi Mantra, di kawah Gunung Agung ada harta karun yang dijaga seekor naga yang bernarna Naga Besukih. Pergilah ke sana dan mintalah supaya dia mau mernberi sedikit hartanya.”

Sidi Mantra pergi ke Gunung Agung dengan mengatasi segala rintangan. Sesampainya di tepi kawah Gunung Agung, dia duduk bersila. Sambil membunyikan genta dia membaca mantra dan memanggil nama Naga Besukih. Tidak lama kernudian sang Naga keluar. Setelah mendengar maksud kedatangan Sidi Mantra, Naga Besukih menggeliat dan dari sisiknya keluar emas dan intan. Setelah mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra mohon diri. Semua Harta benda yang didapatnya diberikan kepada Manik Angkeran dengan harapan dia tidak akan berjudi lagi. Tentu saja tidak lama kemudian, harta itu habis untuk taruhan. Manik Angkeran sekali lagi minta bantuan ayahnya. Tentu saja Sidi Mantra menolak untuk membantu anakya. Manik Angkeran mendengar dari temannya bahwa harta itu didapat dari Gunung Agung. Dia tahu untuk sampai ke sana dia harus membaca mantra tetapi dia tidak pernah belajar mengenai doa dan mantra. Jadi, dia hanya membawa genta yang dicuri dari ayahnya waktu ayahnya tidur.

Setelah sampai di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih. Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, “Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma.”

Manik Angkeran terpesona melihat emas, intan, dan permata di hadapannya. Tiba-tiba ada niat jahat yang timbul dalam hatinya. Karena ingin mendapat harta lebih banyak, dengan secepat kilat dipotongnya ekor Naga Besukih ketika Naga beputar kembali ke sarangnya. Manik Angkeran segera melarikan diri dan tidak terkejar oleh Naga. Tetapi karena kesaktian Naga itu, Manik Angkeran terbakar menjadi abu sewaktu jejaknya dijilat sang Naga.

Mendengar kernatian anaknya, kesedihan hati Sidi Mantra sangat dalam. Segera dia mengunjungi Naga Besukih dan memohon supaya anaknya dihidupkan kembali. Naga menyanggupinya asal ekornya dapat kembali seperti sediakala. Dengan kesaktiannya, Sidi Mantra dapat memulihkan ekor Naga. Setelah Manik Angkeran dihidupkan, dia minta maaf dan berjanji akan menjadi orang baik. Sidi Mantra tahu bahwa anaknya sudah bertobat tetapi dia juga mengerti bahwa mereka tidak lagi dapat hidup bersama.

“Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini,” katanya. Dalam sekejap mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air yang makin lama makin besar sehingga menjadi laut. Dengan tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan anaknya. Sekarang tempat itu menjadi selat Bali yang memisahkan antara pulau Jawa dengan pulau Bali.

Cerita Dongeng Indonesia memuat dengan lengkap unsur-unsur dan kaidah baku dalam menyajikan cerita dan dongeng, meliputi unsur Intrinsik yaitu meliputi Tema, Amanat/Pesan Moral, Alur Cerita/Plot, Perwatakan/Penokohan, Latar/Setting, dan Sudut pandang. dan kadang disertai unsur Ekstrinsik Cerita.


Cerita Legenda Asal Mula Danau Lipan

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Cerita Legenda Asal Mula Danau Lipan, Cerita Rakyat Muara Kaman, Kalimantan Timur, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.
Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Cerita Legenda Asal Mula Danau Lipan, Cerita Rakyat Muara Kaman, Kalimantan Timur, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Pada zaman dahulu kala, konon ceritanya kota Muara Kaman dan sekitarnya merupakan lautan yang luas juga indah. Airnya jernih membiru dengan pepohonan nyiur yang tumbuh di sepanjang pantainya. Aneka fauna laut hidup di dalamnya. Salah satu tepi lautnya adalah Muara Kaman Ulu yang lebih dikenal dengan sebutan Benua Lawas. Pada kala itu, di Benua Lawas berdiri sebuah kerajaan yang makmur sentausa. Bandarnya sangat ramai dikunjungi oleh banyak pedagang dari berbagai penjuru negeri. Masyarakatnya pun rukun, gemar menolong, dan penuh persaudaraan. Tidak ada kejahatan yang merajalela di kerajaan. Karena, setiap kejahatan segera diberantas sampai tuntas sampai ke akarnya.

Kerajaan itu mempunyai sebuah sumur yang disebut Sumur Air Berani. Konon, sumur itu tidak pernah kering dan menjadi sumber air minum kerajaan. Kerajaan besar itu dipimpin oleh seorang putri yang cantik jelita nan rupawan. Putri Aji Bedarah Putih namanya. Dia diberi nama demikian karena kulitnya sangat putih bersih. diibaratkan seandainya sang Putri makan sirih dan menelan airnya, maka tampaklah air sirih yang merah itu mengalir melalui kerongkongannya.

Kecantikan Putri Aji Bedarah Putih terdengar sampai ke berbagai negeri. Tak terkecuali Raja dari daratan Cina. Setelah mendengar kabar itu, berangkatlah Raja Cina dengan jung-jung besar beserta bala tentaranya ke Benua Lawas. Raja Cina ingin melamar Putri Aji. Kedatangan Raja Cina disambut Putri Aji dengan ramahnya. Aneka makanan dihidangkan sebagai penghormatan. Berbagai hiburan kesenian khas kerajaan pun dipergelarkan. Dalam kesempatan itu, Putri Aji meluangkan waktu bersantap dengan Raja Cina. Sayangnya, Raja Cina tidak mengetahui bahwa dia tengah diuji oleh sang Putri yang pandai dan bijaksana itu. Tengah makan dalam jamuan itu, sang Putri merasa jijik melihat cara bersantap tamunya. Raja Cina itu makan dengan menyesap, tanpa mempergunakan tangan melainkan langsung dengan mulut seperti anjing. Sang Putri merasa tersinggung dan merasa dirinya tidak dihormati.

Selesai perjamuan, Raja Cina segera menyampaikan pinangannya. "Maafkan hamba, Raja Cina. Betapa hinanya seorang putri berjodoh dengan manusia yang makannya menyesap seperti anjing," kata Putri Aji Bedarah Putih menolak. Mendengar penolakan itu, Raja Cina merasa terhina dan sangat marah. Raja Cina segera kembali ke jungnya. Dia mengerahkan pasukan untuk menyerang kerajaan sang Putri. Perang dahsyat pun terjadi antara balatentara Cina yang datang bagai gelombang pasang melawan bala tentara Putri Aji Bedarah Putih. Namun karena pasukan Raja Cina demikian kuatnya, tentara Putri Aji Bedarah Putih tidak dapat menanggulangi serangan tersebut. Pasukan sang Putri pun banyak yang gugur di medan laga dan terluka. Sang Putri sangat sedih dan kebingungan. Ia berusaha mencari cara untuk mengalahkan Raja Cina. Sangat lama Putri berpikir dan tercenung. Namun, ia belum juga menemukan cara yang baik dan tepat.

Saat itu Putri hampir putus asa. Ia pun segera berdoa memohon perlindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Selesai berdoa, Putri segera makan sirih seraya berucap, "Kalau benar aku ini keturunan raja sakti, maka jadikanlah sepah-sepahku ini lipan-lipan yang dapat mengalahkan Raja Cina beserta seluruh bala tentaranya." Selesai berkata demikian, disemburkannyalah sepah dari mulutnya ke arah peperangan yang tengah berkecamuk itu. Atas kekuasaaan Tuhan Yang Mahamampu, dengan sekejap mata sepah sirih sang Putri berubah menjadi beribu-ribu lipan yang besar-besar. Menyaksikan lipan-lipan itu, sang Putri bergembira. Lipan-lipan kemudian menyerang bala tentara Cina yang sedang mengamuk dahsyat.

Bala tentara Cina yang berperang dengan gagah perkasa itu satu demi satu dapat dikalahkan. Pasukan Raja Cina pun kocar-kacir lari menyelamatkan diri. Setelah merasa tidak dapat mengalahkan lipan-lipan itu, Raja Cina menyuruh pasukannya mundur ke jung. Tetapi ternyata lipan-lipan itu terus mengejar karena telah diminta untuk mengalahkan raja dan balatentara Cina. Raja dan segenap balatentara Cina tak dapat melawan dan akhirnya meninggal. Jung mereka pun tenggelam ke dsar lautan. Dengan matinya Raja Cina, Putri Aji Bedarah Putih hilang secara gaib. Bersamaan dengan lenyapnya sang Putri, lenyap pulalah Sumur Air Berani. Laut tempat jung Raja Cina tenggelam kemudian mendangkal menjadi suatu daratan berupa padang luas yang kemudian disebut dengan nama Danau Lipan. Saat ini, Danau Lipan masuk wilayah Muara Kaman, Kalimantan Timur dan kita dapat mengunjunginya setiap waktu.
Cerita Dongeng Indonesia memuat dengan lengkap unsur-unsur dan kaidah baku dalam menyajikan cerita dan dongeng, meliputi unsur Intrinsik yaitu meliputi Tema, Amanat/Pesan Moral, Alur Cerita/Plot, Perwatakan/Penokohan, Latar/Setting, dan Sudut pandang. dan kadang disertai unsur Ekstrinsik Cerita.

Cerita Legenda Asal Mula Telaga Biru

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Cerita Dongeng Legenda Asal Mula Telaga Biru, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.
Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Cerita Dongeng Legenda Asal Mula Telaga Biru, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Konon di Halmahera Utara tepatnya di wilayah Galela dusun Lisawa, di tengah ketenangan hidup dan jumlah penduduk yang masih jarang, hanya terdiri dari beberapa rumah atau dadaru. Penduduk Lisawa mendadak gempar dengan ditemukannya kucuran air yang tiba-tiba keluar dari antara bebatuan hasil pembekuan lahar panas. Air yang tergenang itu kemudian membentuk sebuah telaga. Airnya bening kebiruan dan berada di bawah rimbunnya pohon beringin. Kejadian ini membuat bingung penduduk. Mereka bertanya-tanya dari manakah asal air itu? Apakah ini berkat ataukah pertanda bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada daerah yang mereka tinggali?

Kabar tentang terbentuknya telaga pun tersiar dengan cepat dari mulut ke mulut. Apalagi di daerah itu tergolong sulit untuk menemukan air. Berbagai cara dilakukan untuk mengungkap rasa penasaran penduduk. Upacara adat digelar untuk menguak misteri timbulnya telaga kecil itu. Penelusuran lewat ritual adat berupa pemanggilan terhadap roh-roh leluhur sampai kepada penyembahan Jou Giki Moi atau Jou maduhutu (Allah yang Esa atau Allah Sang Pencipta) pun mereka lakukan.

Acara ritual adat menghasilkan jawaban “Timbul dari Sininga irogi de itepi Sidago kongo dalulu de i uhi imadadi ake majobubu” (artinya : Timbul dari akibat patah hati yang remuk-redam, meneteskan air mata, mengalir dan mengalir menjadi sumber mata air). Dolodolo/kentongan pun dibunyikan sebagai isyarat agar semua penduduk dusun Lisawa berkumpul. Mereka bergegas untuk datang dan mendengarkan hasil temuan yang akan disampaikan oleh sang Tetua adat. Suasana pun berubah menjadi hening. Hanya bunyi desiran angin dan desahan nafas penduduk yang terdengar.

Tetua adat dengan penuh wibawa bertanya “Di antara kalian siapa yang tidak hadir namun juga tidak berada di rumah”. Para penduduk mulai saling memandang. Masing-masing sibuk menghitung jumlah anggota keluarganya. Dari jumlah yang tidak banyak itu mudah diketahui bahwa ada dua keluarga yang kehilangan anggotanya. Karena enggan menyebutkan nama kedua anak itu, mereka hanya menyapa dengan panggilan umum orang Galela yakni Majojaru (nona) dan Magohiduuru (nyong). Sepintas kemudian, mereka bercerita perihal kedua anak itu. Majojaru sudah dua hari pergi dari rumah dan belum juga pulang. Sanak saudara dan sahabat sudah dihubungi namun belum juga ada kabar beritanya. Dapat dikatakan bahwa kepergian Majojaru masih misteri. Kabar dari orang tua Magohiduuru mengatakan bahwa anak mereka sudah enam bulan pergi merantau ke negeri orang namun belum juga ada berita kapan akan kembali.

Majojaru dan Magohiduuru adalah sepasang kekasih. Di saat Magohiduuru pamit untuk pergi merantau, keduanya sudah berjanji untuk tetap sehidup-semati. Sejatinya, walau musim berganti, bulan dan tahun berlalu tapi hubungan dan cinta kasih mereka akan sekali untuk selamanya. Jika tidak lebih baik mati dari pada hidup menanggung dusta. Enam bulan sejak kepergian Magohiduuru, Majojaru tetap setia menanti. Namun, badai rupanya menghempaskan bahtera cinta yang tengah berlabuh di pantai yang tak bertepi itu.

Kabar tentang Magohiduuru akhirnya terdengar di dusun Lisawa. Bagaikan tersambar petir disiang bolong Majojaru terhempas dan jatuh terjerembab. Dirinya seolah tak percaya ketika mendengar bahwa Magohiduuru so balaeng deng nona laeng. Janji untuk sehidup-semati seolah menjadi bumerang kematian. Dalam keadaan yang sangat tidak bergairah Majojaru mencoba mencari tempat berteduh sembari menenangkan hatinya. Ia pun duduk berteduh di bawah pohon Beringin sambil meratapi kisah cintanya.

Air mata yang tak terbendung bagaikan tanggul dan bendungan yang terlepas, airnya terus mengalir hingga menguak, tergenang dan menenggelamkan bebatuan tajam yang ada di bawah pohon beringin itu. Majojaru akhirnya tenggelam oleh air matanya sendiri. Telaga kecil pun terbentuk. Airnya sebening air mata dan warnanya sebiru pupil mata nona endo Lisawa. Penduduk dusun Lisawa pun berkabung. Mereka berjanji akan menjaga dan memelihara telaga yang mereka namakan Telaga Biru, sampai sekarang.

Cerita Dongeng Indonesia memuat dengan lengkap unsur-unsur dan kaidah baku dalam menyajikan cerita dan dongeng, meliputi unsur Intrinsik yaitu meliputi Tema, Amanat/Pesan Moral, Alur Cerita/Plot, Perwatakan/Penokohan, Latar/Setting, dan Sudut pandang. dan kadang disertai unsur Ekstrinsik Cerita.


Legenda Cerita Rakyat Hantuen

Legenda Cerita Rakyat Hantuen
Alkisah, Cuaca pagi itu sangat sejuk, angin sepoi-sepoi menerpa dedaunan yang tumbuh di sepanjang aliran sungai. Tampak seorang gadis sedang kebingungan menyusuri Sungai Rungan. sepertinya dia sedang mencari-cari sesuatu.  "Heiii... apa yang sedang kamu cari?" teriak ayahnya. Gadis itu menjawab, "Topiku Ayah, topiku hanyut saat aku mandi." Mereka berdua menyusuri Sungai Rungan untuk mencari topi itu. Tak terasa, mereka telah sampai di desa tetangga, Desa Sepang Simin. Ternyata topi Tapih ada di desa itu. Pemuda bernama Antang Taung menemukannya. Gadis itu ternyata bernama Tapih, ia sangat berterimakasih karena topinya telah ditemukan. Sementara Ayahnya menawarkan hadiah pada Antang Taung sebagai ucapan terima kasih, namun pemuda itu menolaknya. "Jika diizinkan, saya bermaksud menikahi putri Bapak," pinta Antang Taung yang jatuh cinta pada Tapih sejak pandangan pertama. Tapih tersipu mendengar permintaan Antang Taung itu. Ketika ayahnya meminta pendapatnya, Tapih hanya mengangguk setuju. Pesta pernikahan pun digelar dengan meriah.

Setelah menikah, sesuai dengan adat setempat, pasangan pengantin baru harus tinggal di rumah orangtua masing-masing secara bergantian. Adat itu dirasa berat oleh Antang Taung dan Tapih karena perjalanan dari asal Tapih, Desa Baras Semayang, ke Desa Sepang Simin harus melewati hutan yang lebat. Setelah berembuk, mereka memutuskan untuk membuat jalan pintas yang menghubungkan kedua desa tersebut.

Penduduk Desa Baras Semayang dan Sepang Simin bergotong-royong membangun jalan itu. Mereka juga mendirikan pondok untuk tempat melepas lelah. Suatu hari, barang-barang yang mereka Ietakkan di pondok itu raib. Dan bukan sekali itu saja. Bahan makanan, beras, bahkan pakaian juga hilang. Karena penasaran, penduduk memutuskan untuk menjebak si maling. Mereka berpura-pura meninggalkan pondok, seolah-olah pergi bekerja, tapi sebenarnya mereka mengintip dari balik semak-semak. Saat itulah mereka melihat seekor angkes (sejenis landak) masuk ke pondok.

Mereka mengintai Iebih dekat lagi. Hewan itu menggoyang-goyangkan tubuhnya dan tiba-tiba, wusss... angin bertiup sangat kencang dan hewan angkes itu berubah menjadi pemuda tampan. Serentak, para penduduk itu menyerbu pondok dan menangkap pemuda siluman angkes itu. "Ampun, jangan hukum aku. Aku akan menebus semua kesalahanku!" teriak pemuda itu. "Memangnya apa yang bisa kau lakukan? Mengembalikan semua hasil curianmu?" tanya penduduk. "Aku bisa membantu menyelesaikan pekerjaan kalian. Dalam waktu tiga hari, jalan pintas ini akan siap digunakan," kata siluman angkes itu Semua yang hadir mengangguk setuju. Dan memang benar, jalan itu selesai dalam waktu tiga hari. Antang Taung dan Tapih terkagum-kagum mendengar berita tersebut. Suami-istri itu ingin mengangkat pemuda itu menjadi anak mereka. Tak dinyana tawaran itu diterima.

Beberapa bulan kemudian, Tapih mengandung. Suatu hari, ia ingin sekali makan ikan tomang. Untuk mengabulkan keinginan istrinya itu, Antang Taung pergi ke sungai dan berhasil menangkap seekor ikan tomang. Karena terburu-buru pulang, malah meninggalkan ikan tomang itu di perahunya. Begitu Antang Taung menyadari perbuatannya, ia kembaIi ke perahunya. Namun alangkah terkejutnya ia, bukan ikan tomang yang ia temukan melainkan bayi perempuan yang cantik jelita. Dengan sukacita, Antang Taung membawa bayi itu dan mengerahkannya pada Tapih.

Bayi jelmaan ikan tomang itu ternyata tumbuh dengan cepat. Beberapa bulan saja, ia sudah menjelma menjadi seorang gadis yang cantik. Ia jatuh cinta pada pemuda siluman angkes. Rupanya perasaan itu tidak bertepuk sebelah tangan. Dengan restu dari Antang Taung dan Tapih, keduanya melangsungkan pernikahan. Mereka sangat bahagia, tapi kebahagiaan itu tak bertahan lama. Tak berapa lama setelah lahir, bayi pertama mereka meninggal. Ditambah lagi dengan berita tentang kematian bayi yang dilahirkan oleh Tapih. Mereka semua sangat berduka.

Sesuai adat, Antang Taung dan Tapih harus mengadakan dua upacara kematian untuk kedua bayi tersebut. Yang pertama adalah upacara penguburan, dan yang kedua adalah upacara pembakaran tulang-belulang. Melalui kedua upacara tersebut, arwahnya dipercaya akan menempati Lewu Tatau (Surga). Upacara kedua, yang disebut tiwah dianggap lebih penting daripada upacara pertama. Pada upacara tiwah, roh orang yang meninggal dipercaya akan lepas dari tubuhnya. Siluman angkes dan siluman ikan tomang mengetahui upacara itu. Meskipun mereka adalah siluman, mereka ingin melaksanakan upacara itu. Namun saat kuburan anak mereka digali, bukan tulang-belulang manusia yang mereka dapati, melainkan tulang-belulang hewan dan ikon. Warga yang menyaksikan kejadian tersebut berbisik-bisik satu sama lain. Karena malu, pasangan siluman itu meninggalkan desa dan mengembara ke hutan.

Sampai akhir hayatnya, mereka tinggal di sana dan melahirkan banyak keturunan. Keturunan mereka disebut hantuen. Banyak juga hantuen ini yang meninggalkan hutan dan menikah dengan manusia biasa. Saat ini, keturunan hantuen dipercaya mampu berubah wujud menjadi hantu jadi-jadian. Meski pada siang hari wujud mereka adalah manusia, pada malam hari mereka akan berubah menjadi hantu tanpa tubuh. Mereka berkeliaran mencari bayi yang baru lahir untuk diisap darahnya.

Pesan Moral Dongeng Cerita Rakyat Kalimantan Tengah : Siluman Angkes dan Siluman Ikan Tomang - Legenda Hantuen adalah : Hendaknya kita menjadi diri sendiri dan jangan meniru orang lain. Hindari keinginan untuk melakukan haI-hal yang dilakukan orang lain karena hal itu belum tentu sesuai dan mampu kita lakukan.

Cerita Dongeng Indonesia memuat dengan lengkap unsur-unsur dan kaidah baku dalam menyajikan cerita dan dongeng, meliputi unsur Intrinsik yaitu meliputi Tema, Amanat/Pesan Moral, Alur Cerita/Plot, Perwatakan/Penokohan, Latar/Setting, dan Sudut pandang. dan kadang disertai unsur Ekstrinsik Cerita.


Legenda Cerita Rakyat Putri Junjung Buih

Legenda Cerita Rakyat Putri Junjung Buih
Pada zaman dahulu kala, di Kalimantan Selatan berdirilah Kerajaan Amuntai. Rakyatnya hidup makmur damai sejahtera di bawah pemerintahan dua pemimpin, Raja Patmaraga dan adiknya, Raja Sukmaraga. Keduanya memerintah dengan adil, saling menghargai, serta hidup rukun. Namun ada satu hal yang dari mereka, yaitu mereka belum satu pun mempunyai anak.

Raja Sukmaraga dan istrinya, sangat mendambakan putra kembar. Dan mereka terus-menerus memintanya dalam doa. Akhirnya, Tuhan mengabulkan doa mereka. Raja Sukmaraga sangat bahagia, setiap malam ia mengelus perut istrinya sambil berkata, "Semoga anak di kandunganmu ini putra kembar yang gagah rupawan."

Istrinya hanya tersenyum tapi dalam hati mengamini harapan itu. Setelah mengandung sembilan bulan, lahirlah putra kembar yang tampan. Raja Sukmaraga mengumumkan berita bahagia itu pada kakaknya dan seluruh rakyat. Raja Patmaraga juga turut berbahagia atas kelahiran kemenakannya itu. Namun dalam hati, ia sangat sedih. Ia juga ingin dikaruniai anak. Tak harus sepasang anak laki-laki, anak perempuan pun akan ia terima dengan suka cita.

Raja Patmaraga berdoa, memohon petunjuk Yang Kuasa. Ia mendapat jawaban lewat mimpi. Dalam mimpinya, Raja Patmaraga diminta untuk bertapa di Candi Agung yang berlokasi di luar Kerajaan Amuntai. Esok harinya, tanpa menunda-nunda lagi, Raja Patmaraga berangkat bersama beberapa pengawal dan tetua istana, Datuk Pujung. Di sana, Raja Patmaraga segera bertapa selama bebera a hari. Meski pun belum mendapat petunjuk, la yakin Tuhan akan mengabulkan doanya. Benar saja dalam perjalanan pulang, Raja Patmaraga melewati sungai. Betapa terkejutnya ia ketika melihat seorang bayi perempuan yang sangat cantik terapung-apung di sungai itu. "Apa itu? Apakah aku tak salah lihat? Bagaimana bisa ada bayi di sini?" tanyanya dalam hati. Dengan sangat berhati-hati, ia mengangkat bayi itu. "Datuk Pujung, bantulah aku menggendong bayi ini." Dengan cepat Datuk Pujung mengambil bayi itu dari pelukan Raja Patmaraga. Betapa herannya mereka, bayi itu tidak menangis melainkan berbicara.

Mereka ternganga mendengar kata-kata yang terucap dari mulut bayi itu, "Jangan bawa aku seperti ini. Mintalah 40 wanita cantik untuk menjemputku. Satu lagi, aku tak bisa ikut dalam keadaan telanjang seperti ini. Kalian harus menyediakan selembar selimut yang ditenun dalam waktu setengah hari saja." Raja Patmaraga segera memerintah Datuk Pujung untuk kembali ke istana dan mengadakan sayembara untuk mendapatkan selimut yang diminta bayi itu. Selain itu, ia juga harus mengumpulkan 40 wanita cantik. "Pengumuman, Raja Patmaraga sedang menunggu kita. Barang siapa mampu menenun selembar selimut untuk bayi dalam waktu setengah hari, akan diangkat menjadi pengasuh bayi," kata Datuk Pujung

Mendengar pengumuman itu, rakyat gaduh dengan bisikan-bisikan yang menanyakan siapa kira-kira yang mampu menenun selembar selimut dalam waktu setengah hari. Para wanita mulai bekerja. Mereka menggunakan benang terbaik. Namun sampai waktu yang ditentukan, tak seorang pun yang selesai. Datuk Pujung nyaris putus asa, ketika tiba-tiba seorang wanita menghampirinya. "Tuanku, ini selimut hasil tenunan saya. Periksalah dengan cermat apakah selimut ini cukup untuk menyelimuti bayi Raja Patmaraga?" katanya sambil menyerahkan selembar selimut yang dilipat rapi. Datuk Pujung membuka lipatan selimut tersebut dan "Waaahhhhh... indah sekali selimut itu," gumam para wanita yang berkerumun di sekitar Datuk Pujung. "Siapakah namamu? Aku rasa kau pantas menjadi pengasuh bayi Raja Patmaraga," kata Datuk Pujung. "Nama saya Ratu Kuripan. Saya akan sangat senang jika Raja Patmaraga berkenan menjadikan saya pengasuh untuk putrinya," jawab wanita itu.

Datuk Pujung, Ratu Kuripan, dan 40 wanita cantik berangkat menjemput Raja Patmaraga. Bayi itu dibungkus dengan selimut buatan Ratu Kuripan. "Cantik sekali. Karena kau kutemukan terapung di atas buih-buih, maka kau kunamakan Putri Junjung Buih," kata Raja Patmaraga. Bayi itu tersenyum, seolah setuju dengan Raja Patmaraga. Kebahagiaan rakyat Amuntai telah Iengkap bersama dua raja dan putra-putri mereka. Negeri itu hidup damai dan bahagia.

Pesan Moral Ledenda dari Kalimantan Selatan Cerita Rakyat Putri Junjung Buih adalah Hendaknya kita merawat milik kita dengan baik sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan. Jika menginginkan sesuatu, berdoa dan berusahalah niscaya harapan itu terwujud.

Cerita Dongeng Indonesia memuat dengan lengkap unsur-unsur dan kaidah baku dalam menyajikan cerita dan dongeng, meliputi unsur Intrinsik yaitu meliputi Tema, Amanat/Pesan Moral, Alur Cerita/Plot, Perwatakan/Penokohan, Latar/Setting, dan Sudut pandang. dan kadang disertai unsur Ekstrinsik Cerita.


Legenda Asal Mula Tanjung Lesung

Legenda Asal Mula Tanjung Lesung
Alkisah, Zaman dahulu hiduplah seorang pengembara bernama Raden Budog yang berasal dari Laut Selatan. Ia tinggal bersama Kuda dan Anjing kesayangannya. Kemana pun ia pergi, Kedua peliharaannya selalu ikut. Suatu ketika, Raden Budog bermimpi bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik rupawan. Wajah gadis itu selalu membanyangi pikirannya. Akhirnya, ia memutuskan untuk mencari keberadaan gadis itu. Sebelum pergi, ia membawa golok dan batu asah. Ia pergi menunggangi Kuda kesayangannya. Anjingnya yang setia berjalan di depan sebagai penunjuk jalan.

Setelah beberapa waktu berjalan. Ia belum juga menemukan gadis itu. Mereka mendaki bukit dan melewati jalanan berbatu-batu. Namun, ketika tiba di Gunug Walang, tiba-tiba kuda kesayangannya terjatuh. Raden Budog pun ikut terjatuh, mereka berguling-guling di lereng gunung, sekujur tubuhnya dipenuhi dengan luka.

Setelah beberapa saat mengurus lukanya, Raden Budog memutuskan untuk beristirahat sejenak. Raden Budog memakan bekal yang dibawanya. Sementara Kudanya memakan rumput dan Anjingnya berlari-lari mengejar mangsa. Setelah cukup beristirahat mereka melanjutkan perjalanan. Raden Budog melihat pelana Kudanya sobek. Pelana itu tidak bisa di gunakan lagi dan akhirnya, Raden Budog berjalan kaki dan menuntun Kudanya.

Mereka berjalan menuju daerah yang bernama Tali Alas yang sekarang di kenal dengan Pilar. Mereka terus berjalan sampai di tiba di Pantai Cawar, pemandangannya sangat indah dan air lautnya sangat jernih. Akhirnya Raden Budog menceburkan dirinya dan berenang. Segarnya air laut menghilangkan rasa lelah. Setelah puas berenang ia melanjutkan perjalanan. Di panggilnya Kuda dan Anjingnya untuk segera beranjak pergi. Namun, kedua hewan itu tidak bergeming. Raden Budog sudah mendorong-dorong ke dua hewan tersebut. Namun, mereka tidak mau beranjak. Mereka diam seperti batu karang. Akhirnya, dengan sangat sedih. Raden Budog pergi seorang diri. Raden Budog meneruskan perjalanan menuju Legon Waru. Sesampainya ia di Legon Waru, ia merasa kelelahan. Pundaknya sangat terasa ngilu karena dalam tasnya terdapat batu asah yang sangat berat. Ia tidak kuat lagi membawa batu asah tersebut dan ia meninggalkan batu asah terebut di Legon Waru.

Sampai saat ini, di Legon Waru terdapat sebuah karang yang bernama Karang Pangasahan. Karang itu merupakan jelmaan dari batu asah milik Raden Budog. Raden Budog melanjutkan perjalanannya menyusuri pesisir pantai. Ia pantang menyerah demi menemukan gadis impiannya. Rasa lelahnya sirna setiap ia memikirkan gadis itu.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba turun hujan sangat lebat. Raden Budog berteduh di bawah pohon. Ketika sedang berteduh, ia melihat dari dalam pasir, muncul pulahan ekor penyu. Raden Budog kagum melihat penyu-penyu dari yang berukuran besar sampai yang terkecil berlarian menuju laut. Daerah itu kemudian di manakan Cipenyu. Meskipun hujan masih turun, Raden Budog tetap ingin melanjutkan perjalanannya. Ia tidak ingin membuang-buang waktu. Di ambilnya selembar daun untuk melindungi tubuhnya dari hujan. Hujan juga tidak kunjung reda, malah bertamah lebat. Langit sangat gelap dan petir menyambar-nyambar. Hari sudah mulai malam.

Raden Budog menemukan sebuah Gua bukit karang. Raden Budog masuk ke Gua karang tersebut untuk beristirahat. Ia menutup pintu Gua dengan daun yang di bawanya agar tidak kebasahan. Setelah cukup beristirahat ia melanjutkan perjalanannya. Hujan pun sudah reda. Raden Budog segera keluar, dan menutup pintu Gua tersebut dengan daun yang di bawanya. Daun Langkap it uterus menempel di pintu Gua dan tidak bisa lepa. Gua karang itu kemudian dinamakan Karang Meumpeuk. Raden Budog berjalan mengikuti langkah kakinya. Lalu, tiba di muara sebuah sungai. Akibat hujan yang turun dengn deras sungai itu menjadi banjir. Raden Budog tidak bisa menyebrangi sungai itu. Padahal ia ingin sekali ke desa yang letaknya berada di seberang sungai. Tak sabar, untuk segera menyebrangi sungai. Namun, air tidak kunjung surut. Dalam hati ia berkata. ‘’ Kali banjir sialan.’’

Daerah tempat sungai yang banjir itu kemudia di kenal dengan Kali Caah. Yang artinya sungai atau kali yang banjir. Setelah sabar menunggu. Akhirnya, sungai itu mulai surut. Raden Budog pun segera menyebrangi sungai tersebut. Maka sampailah ia di desa yang menjadi tujuan akhirnya. Sesampainya ia di desa tersebut. Ia mendengar suara tumbukan lesung yang sangat merdu. Di carinya suara itu. Suara tumbukan itu ternyata berasal dari permainan lesung yang di mainkan oleh para gadis. Salah satu dari gadis itu. Parasnya paling cantik di bandingkan dengan gadis yang lain.

Gadis yang paling cantik itu bernama Sri Poh Haci. Ia tinggal bersama ibunya yang bernama Nyi Siti. Sri Poh Haci lah yang pertama kali menemukan permainan lesung. Ia mendapatkan ide karena ia senang menumbuk padi . permainan lesung ini di namakan Ngagondang. Di desa itu, sudah menjadi tradisi bermain Ngagondang setiap akan menanam padi. Namun, permainan ini tidak boleh di mainkan pada hari Jum’at. Karena hari jumat di anggap sebagai hari yang keramat untuk penduduk desa. Ketika melihat Sri Poh Haci, jantung raden Budog langsung berdebar. Gadis itu adalah gadis yang muncul dalam mimpinya. Raden Budog terus memperhatikan permainan lesung para gadis itu. Sri Poh Haci pulang dan Raden Budog melihatnya masuk ke dalam rumahnya.

Raden Budog lalu memberanikan diri mengetuk pintu rumah Sri Poh Haci. Pintu dibuka oleh Nyi Siti. "Ada keperluan apa?" Tanya nyai siti "Maaf, saya pengembara yang kebetulan lewat di sini. Saya membutuhkan tempat untuk bermalam. Bolehkah saya menumpang semalam di sini?" "Maaf anak muda. Bukannya aku tidak mengjinkan kau untuk bermalam di sini. Tapi, aku seorang janda dan tinggal berdua dengan anak gadisku. Tidak baik kami menerima seorang laki-laki untuk menginap." Jawab Nyi Siti

Raden Budog sangat kecewa karena tidak dapat berjumpa dengan gadis impiannya. Lalu ia berjalan menuju dipan bambu yang berada tidak jauh dari rumah Nyi Siti. Raden Budog merebahkan badanya pada dipan bambu tersebut dan ia tertidur.

Tiba-tiba ia mendengar suara lembut seseorang memanggil namanya."Raden, raden, bangunlah." Ujar suara lembut itu Raden Budog terbangun dan terkejut, karena di hadapan berdiri seorang gadis yang sangat cantik. Gadis itu adalah Sri Poh Haci. "Bangunlah Raden, tidak baik tidur sore-sore begini." Ujarnya.

Mereka berkenalan dan akrab. Tak lama kemudian mereka menjadi sepasang kekasih. Awalnya Nyi Siti tidak merestui hubungan mereka karena ia tidak mengetahui asal usul Raden Budog. Namun, ia melihat putrinya sangat bahagia bersama dengan lelaki itu. Ia pun mengalah dan merestui hubungan mereka. Raden Budog dan Sri Poh Haci akhirnya menikah. Setelah menikah kebiasaan Sri Poh Haci bermain Ngagondang tidak juga hilang. Bahkan kini Raden Budog pun ikut memainkannya. Raden Budog selalu ingin memainkan lesung setiap hari. Bahkan ia pun ingin bermain pada hari jumat. Istri, mertua dan para tetangga sudah berusaha melarangnya. Tetapi, raden Budog tidak mendengarkan dan bersikeras untuk bermain.

Dengan penuh semangat ia menabuh-nabuhkan lesung. Ia melompat ke sana kemari mengikuti alunan suara lesung. Tiba-tiba, pra tetangga terteriak sambil tertawa geli menunjuk kea rah Raden Budog . "Hahahaa.. lucu sekali." Raden Budog heran. Mengapa mereka menertawakannya dan menyebutnya sebagai lutung. Ketika di lihat, ternyata sekujur tubuhnya telah penuh dengan bulu berwarna hitam. Di bokonnya juga tumbuh ekor yang panjang.

Raden Budog sangat ketakutan dan merasa malu. Lalu, ia berlari ke hutan dan bersembunyi di sana. Para penduduk memanggilnya dengan sebutan Lutung Kasarung. Setelah kejadian itu Sri Poh Haci pergi dari kampung. Ia sangat malu dan menyesali perbuatan suaminya. Menurut cerita, Sri Poh Haci kemudian menjelma menjadi "Dewi Padi." Desa tersebut, kemudian dinamakan Desa Lesung. Karena letaknya berada di tanjung. Desa itu kemudian di beri nama Tanjung Lesung sampai sekarang.

Pesan Moral Dongeng Legenda Asal Mula Tanjung Lesung adalah Hendaknya kita menghormati keraifan lokal dengan mengikuti aturan yang berlaku di suatu tempat. Seperti peribahasa dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung.

Cerita Dongeng Indonesia memuat dengan lengkap unsur-unsur dan kaidah baku dalam menyajikan cerita dan dongeng, meliputi unsur Intrinsik yaitu meliputi Tema, Amanat/Pesan Moral, Alur Cerita/Plot, Perwatakan/Penokohan, Latar/Setting, dan Sudut pandang. dan kadang disertai unsur Ekstrinsik Cerita.


Legenda Cerita Rakyat Si Pahit Lidah

Legenda Cerita Rakyat Si Pahit Lidah
Zaman dahulu kala, di wilayah Sumatera Selatan tepatnya di daerah Sumidang, hidup seseorang pangeran yang bernama Serunting. la memiliki sifat iri hati juga dengki terhadap apa yang dimiliki orang lain. Pangeran Serunting telah memiliki istri. lstrinya memiliki seorang adik laki-laki yang bernama Aria Tebing, yang kini menjadi adik ipar Pangeran Serunting itu sendiri.

Serunting dan Aria Tebing memiliki ladang masing-masing, letak ladang mereka bersebelahan yang hanya dipisahkan oleh batas berupa pepohonan. Dan di bawah pepohonan itu tumbuh tanaman Jamur/cendawan. Namun, Cendawan yang tumbuh itu menghasilkan hal yang jauh berbeda. Jika diamati Cendawan yang menghadap ke arah ladang milik Aria Tebing tumbuh menjadi logam emas. Sedangkan Cendawan yang menghadap ke arah ladang milik Serunting tumbuh menjadi tanaman hama/parasit tanaman tidak berguna.

Mengetahui hal tersebut, Serunting menjadi iri hati pada Aria Tebing, setiap hari ia terus berburuk sangka pada adik iparnya itu, "Cendawan yang menghadap ke ladangku tumbuh menjadi tanaman yang tidak berguna, sedangkan yang menghadap ke arah ladang milik Aria Tebing tumbuh menjadi logam emas. Aku yakin, Ini pasti perbuatan Aria Tebing yang tidak jujur".

Keesokan harinya, Serunting menghampiri Aria Tebing dengan perasaan dendam dan marah, ia kemudian mengajak Aria Tebing untuk berduel. "Kau telah berbuat curang kepadaku! Aku menantangmu untuk berduel esok hari!!" ucap Serunting. "Tapi, tapi aku tidak pernah berbuat curang," sahut Aria Tebing. Serunting tidak memperdulikannya, ia tetap menantangnya untuk berduel. Aria Tebing kebingungan. la tahu bahwa kakak iparnya itu adalah orang yang sakti, setelah lama berpikir, akhirnya Aria Tebing mendapat ide.

la kemudian menceritakan kejadian itu dan membujuk kakak kandungnya yang tak lain adalah istri dari serunting untuk memberitahukan rahasia kelemahan Serunting. "Kak, beritahukanlah aku rahasia kelemahan suamimu. Aku dalam keadaan terdesak, jika aku kalah maka aku akan mati," ucap Aria Tebing memohon. "Maaf adikku, aku tak mau mengkhianati suamiku, aku tak bisa memberi tahumu," jawab istri serunting keberatan. "Percayalah kak, ini demi adikmu! Jika aku mengetahui kelemahan suamimu, aku tidak akan membunuhnya," bujuk Aria tebing tidak berputus asa. Akhirnya istri Serunting iba melihat adiknya yang terus memohon, kemudian ia memberitahukan bahwa kesaktian Serunting berada pada tumbuhan ilalang yang bergetar meskipun tak tertiup angin.

Keesokan harinya, sebelum bertanding, Aria Tebing sudah menancapkan tombaknya ke ilalang yang bergetar meskipun tak tertiup angin. Serunting pun akhirnya terluka parah dan kalah. Serunting mengetahui bahwa istrinya lah yang memberi tahu Aria Tebing tentang kelemahannya, merasa dikhianati akhirnya Serunting pergi mengembara, ia bertapa di Guning Siguntang.

Saat sedang bertapa, ia mendengar suara Hyang Mahameru, "Wahai Serunting! Aku akan menurunkan ilmu kekuatan gaib kepadamu, apakah kau maul' tanya Hyang Mahameru. "Aku mau kekuatan gaib itu, wahai Hyang Mahameru, aku mau kekuatan itu," jawab Serunting. "Tapi, ada satu syarat yaitu kau harus bertapa di bawah pohon bambu. Setelah tubuhmu ditutupi oleh daun-daun dari pohon bambu itu, maka kamu berhasil mendapatkan kekuatan itu," ucap Hyang Mahameru.

Tahun telah berlalu berlalu, Serunting masih bertapa, akhirnya daun-daun dari pohon bambu sudah menutupinya. Kini ia memiliki kesaktian yaitu setiap perkataan yang keluar dari mulutnya akan menjadi kenyataan dan kutukan.

Suatu hari, ia berniat ingin pulang ke kampung halamannya, di Sumidang. Di perjalanannya, ia mengutuk semua pohon tebu menjadi batu. "Hai pohon tebu, jadilah Batu," teriaknya lantang. Dan dalam sekejap, pohon-pohon tebu tersebut menjadi batu. Lalu di sepanjang tepi Sungai iambi, ia kembali mengutuk semua orang yang ia jumpai menjadi batu.

Berkat kesaktian yang dimiliki, Serunting menjadi orang yang angkuh dan sombong. Akhirnya orang menjulukinya dengan nama Si Pahit Lidah. Namun saat Serunting tiba di sebuah Bukit Serut yang gundul, ia mulai menyadari kesalahannya. Lalu ia mengubah Bukit Serut menjadi hutan kayu. Dalam sekejap bukit itu berubah menjadi hutan kayu hingga masyarakat setempat berterima kasih kepadanya karena bukit itu telah menjadi hutan kayu yang akan menghasilkan hasil kayu yang berlimpah dan dijual di pasar untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Kemudian ia melanjutkan perjalanan dan tiba di Desa Karang Agung. Serunting melihat gubuk tua yang dihuni suami-istri yang sudah tua. Serunting mendatangi sepasang suami istri tua renta itu. Serunting berpura-pura meminta seteguk air minum. Sepasang kakek dan nenek itu sangat ramah dan baik hati. Ternyata sudah lama mereka ingin dikaruniai seorang anak untuk membantu mereka bekerja. Serunting pun mengabulkannya.

Ketika melihat ada sehelai rambut yang rontok menempel pada baju sang nenek, Serunting mengambilnya lalu mengubah rambut itu menjadi seorang bayi. Pasangan tua itu bahagia dan berterima kasih kepada Serunting. Serunting bahagia bisa membantu orang lain. Di sisa perjalanannya, Serunting belajar untuk membantu dan berusaha menolong orang yang kesulitan. Namun meskipun kalimat yang keluar dari mulutnya adalah kalimat baik dan untuk membantu orang yang membutuhkan, tetap saja orang-orang masih menjulukinya dengan nama Si Pahit Lidah.

Pesan Moral Legenda Dongeng Cerita Rakyat Si Pahit Lidah adalah Hendaknya manfaatkan ilmu yang telah kita miliki untuk berbuat baik dan membantu sesama. Hati-hati dalam berucap karena ucapan kita bisa menyakiti orang lain. Mulutmu harimaumu.

Cerita Dongeng Indonesia memuat dengan lengkap unsur-unsur dan kaidah baku dalam menyajikan cerita dan dongeng, meliputi unsur Intrinsik yaitu meliputi Tema, Amanat/Pesan Moral, Alur Cerita/Plot, Perwatakan/Penokohan, Latar/Setting, dan Sudut pandang. dan kadang disertai unsur Ekstrinsik Cerita.


Cerita Legenda Gunung Kelud

Cerita Legenda Gunung Kelud
Dikisahkan, di daerah Jawa Timur, ada seorang raja bernama Raja Brawijaya yang bertahta di Kerajaan Majapahit. Ia mempunyai seorang putri yang jelita bernama Dyah Ayu Pusparani. Sang Putri memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona. Sudah banyak pengeran datang melamar, namun Prabu Brawijaya belum menerima satu pun lamaran agar tidak terjadi kecemburuan di antara pelamar yang lain. Di sisi lain, penguasa Majapahit itu juga tidak ingin menolak secara langsung karena takut mereka akan menyerang kerajaannya.

Setelah berpikir dengan keras, Prabu Brawijaya menemukan sebuah cara, yaitu ia akan mengadakan sayembara bahwa barang siapa yang berhasil merentang busur sakti Kyai Garudayeksa dan mengangkat Pusaka gong Kyai Sekardelima maka dialah yang berhak mempersunting putrinya. Ia memerintahkan para pengawalnya untuk menyampaikan pengumuman tersebut kepada seluruh rakyatnya, termasuk kepada para raja dan pangeran dari kerajaan-kerajaan di sekitarnya.

Pada saat yang telah ditentukan, para peserta dari berbagai penjuru negeri telah berkumpul di alun-alun Kerajaan. Prabu Brawijaya duduk di atas singgasananya dan didampingi oleh permaisuri dan putrinya. Setelah busur Kyai Garudyeksa dan gong Kyai Sekadelima disiapkan, Prabu Brawijaya segera memukul gong pertanda acara dimulai. Satu persatu peserta sayembara mengeluarkan seluruh kesaktiannya untuk merentang busur dan mengangkat gong tersebut, namun tak seorang pun yang berhasil. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang mendapat musibah. Ada yang patah tangannya karena memaksakan diri merentang busur sakti itu, dan ada pula yang patah pinggangnya ketika mengangkat gong besar dan berat itu.

Ketika Prabu Brawijaya akan memukul gong untuk menutup sayembara itu, tiba-tiba datanglah seorang pemuda berkepala lembu hendak mengandu keberuntungan. “Ampun, Gusti! Apakah hamba diperkenankan untuk mengikuti sayembara ini?” tanya pemuda itu. “Hai, Siapa namamu?” tanya Prabu Brawijaya. “Nama hamba Lembu Sura,” jawab pemuda itu.

Prabu Brawijaya beranggapan bahwa pemuda itu tidak akan mampu merentang busur sakti dan mengangkat gong besar itu. Ia pun mengizinkannya mengikuti sayembara itu sebagai peserta terakhir. “Silakan! Kamu boleh mengikuti sayembara ini,” ujar Prabu Brawijaya. Lembu Sura pun menyanggupi persyaratan itu. Dengan kesaktiannya, ia segera merentang busur Kyai Garudayaksa dengan mudah. Keberhasilan Lembu Sura itu diiringi oleh tepuk tangan meriah para penonton. Sementara itu, Putri Dyah Ayu Pusparani terlihat cemas, karena ia tidak ingin bersuamikan manusia berkepala lembu.

Ketika Lembu Sura menghampiri gong Sekardelima, semua yang hadir tampak tegang, terutama sang Putri. Ia sangat berharap agar Lembu Sura gagal melewati ujian kedua itu. Tanpa diduganya, pemuda berkepala lembu itu ternyata mampu mengangkat gong Sekardelima dengan mudah. Tepuk tangan penonton pun kembali bergema, sedangkan Putri Dyah Ayu Purpasari hanya terdiam. Hatinya sangat sedih dan dan kecewa. “Aku tidak mau bersuami orang yang berkepala lembu,” seru sang Putri seraya berlari masuk ke dalam istana.

Mendengar ucapan putrinya itu, Prabu Brawijaya langsung terkulai karena telah mengecewakan putrinya. Namun sebagai seorang raja, ia harus menepati janjinya untuk menjaga martabatnya. Dengan demikian, Putri Dyah Ayu Pusparani harus menerima Lembu Sura sebagai suaminya. "Hadirin sekalian! Sesuai dengan janjiku, maka Lembu Sura yang telah memenangkan sayembara ini akan kunikahkan dengan putriku!” seru Prabu Brawijaya.

Seluruh pesarta sayembara pun berlomba-lomba memberikan ucapan selamat kepada Lembu Sura. Sementara itu, di dalam istana, Putri Dyah Ayu Pusparani menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya. Berhari-hari ia mengurung diri di dalam kamar. Ia tidak mau makan dan minum. Melihat tuannya sedang sedih, seorang Inang pengasuh berusaha membujuk dan menasehatinya. “Ampun, Tuan Putri! Jika Tuan Putri tidak mau menikah dengan Lembu Sura, sebaiknya Tuan Putri segera mencari jalan keluar sebelum hari pernikahan itu tiba,” ujar Inang pengasuh.

Mendengar nasehat itu, sang Putri langsung terperanjat dari tempat tidurnya. “Benar juga katamu, Mak Inang! Kita harus mencari akal agar pernikahanku dengan orang yang berkepala lembu itu dibatalkan. Tapi, apa yang harus kita lakukan? Apakah Mak Inang mempunyai usul?” tanya sang Putri bingung. Inang pengasuh hanya terdiam. Sejenak, suasana menjadi hening. Setelah berpikir keras, akhirnya Inang pengasuh menemukan sebuah jalan keluar. “Ampun, Tuan Putri! Bagaimana kalau Tuan Putri meminta satu syarat yang lebih berat lagi kepada Lembu Sura?” usul Inang pengasuh. “Apakah syarat itu, Mak Inang?” tanya sang Putri penasaran. “Mintalah kepada Lembu Sura agar Tuan Putri dibuatkan sebuah sumur di puncak Gunung Kelud untuk tempat mandi kalian berdua setelah acara pernikahan selesai. Tapi, sumur itu harus selesai dalam waktu semalam,” usul Mak Inang.

Putri Dyah Ayu Pusparani pun menerima usulan Inang pengasuh dan segera menyampaikannya kepada Lembu Sura. Tanpa berpikir panjang, Lembu Sura menyanggupi persyaratan itu. Pada sore harinya, berangkatlah ia ke Gunung Kelud bersama keluarga istana, termasuk sang Putri.

Setibanya di Gunung Kelud, Lembu Sura mulai menggali tanah dengan menggunakan sepasang tanduknya. Dalam waktu tidak berapa lama, ia telah menggali tanah cukup dalam. Ketika malam semakin larut, galian sumur itu semakin dalam. Lembu Sura sudah tidak tampak lagi dari bibir sumur. Melihat hal itu, Putri Dyah Ayu Pusparani semakin panik. Ia pun mendesak ayahandanya agar menggagalkan usaha Lembu Sura membuat sumur. “Ayah! Apa yang harus kita lakukan? Putri tidak mau menikah dengan Lembu Sura,” keluh sang Putri dengan bingung.

Prabu Brawijaya pun tidak ingin mengecewakan putri kesayangannya untuk yang kedua kalinya. Setelah berpikir keras, akhirnya ia menemukan sebuah cara untuk menghabisi nyawa Lembu Sura. “Pengawal! Timbun sumur itu dengan tanah dan bebatuan besar!” seru Prabu Brawijaya. Tak seorang pun pengawal yang berani membantah. Mereka segera melaksanakan perintah rajanya. Lembu Sura yang berada di dalam sumur berteriak-teriak meminta tolong. “Tolooong...! Tolooong...! Jangan timbun aku dalam sumur ini!” demikian teriakan Lemu Sura.

Para pengawal tidak menghiraukan teriakan Lembu Suara. Mereka terus menimbun sumur itu dengan tanah dan bebatuan. Dalam waktu sekejap, Lembu Sura sudah terkubur di dalam sumur. Meski demikian, suaranya masih terdengar dari dalam sumur. Lembu Sura melontarkan sumpah kepada Prabu Brawijaya dan seluruh rakyat Kediri karena sakit hati. “Yoh, Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping yaiku Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi Kedung". (Wahai orang-orang Kediri, suatu saat akan mendapatkan balasanku yang sangat besar. Kediri bakal jadi sungai, Blitar akan jadi daratan, dan Tulungagung menjadi daerah perairan dalam).

Dalam sumpahnya, Lembu Sura berjanji bahwa setiap dua windu sekali dia akan merusak seluruh wilayah kerajaan Prabu Brawijaya. Mendengar ancaman itu, Prabu Brawijaya dan seluruh rakyatnya menjadi ketakutan. Berbagai usaha pun dilakukan untuk menangkal sumpah Lembu Sura tersebut. Ia memerintahkan para pengawalnya agar membangun sebuah tanggul pengaman yang kokoh (kini telah berubah menjadi gunung bernama Gunung Pegat) dan menyelenggarakan selamatan yang disebut dengan larung sesaji. Meski demikian, sumpah Lembu Sura tetap juga terjadi. Setiap kali Gunung Kelud meletus, masyarakat setempat menganggap hal itu merupakan amukan Lembu Sura sebagai pembalasan dendam atas tindakan Prabu Brawijaya dan Putrinya.

Pesan Moral Cerita Legenda Gunung Kelud adalah Bahwa orang yang suka mengingkari janji seperti Putri Dyah Ayu Pusparani dan Prabu Brawijaya dapat mendatangkan bencana kepada dirinya sendiri maupun orang lain. Meletusnya Gunung Kelud yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa merupakan akibat dari ulah Prabu Brawijaya dan putrinya yang tidak menepati janjinya kepada Lembu Sura. Sifat suka mengingkari janji ini merupakan sifat tidak terpuji yang harus dijauhi, karena termasuk sifat orang-orang munafik.

Penjelasan singkat tentang Legenda Gunung Kelud
Gunung Kelud terletak di Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Indonesia. Meskipun telah puluhan kali meletus dan memakan relatif banyak korban jiwa sejak abad ke-15 sampai abad ke-20, gunung api ini menjadi salah satu obyek wisata menarik di daerah itu karena keindahan panorama alamnya. Gunung yang memiliki ketinggian 1.730 meter di atas permukaan laut ini semakin menarik minat para pengunjung karena setiap tanggal 23 Suro (penanggalan Jawa) masyarakat setempat menggelar acara arung sesaji. Pagelaran acara tersebut merupakan simbol Condro Sengkolo atau sebagai penolak bala dari bencana akibat pengkhianatan cinta yang dilakukan oleh putri Kerajaan Majapahit terhadap seorang pemuda bernama Lembu Sura.

Hingga saat ini, masyarakat Kediri, khususnya masyarakat Desa Sugih Waras, secara rutin (yaitu setiap tanggal 23 Syura) menyelenggarakan acara selamatan larung sesaji di sekitar kawah Gunung Kelud. Setidaknya ada dua pelajaran yang dapat dipetik dari carita di atas yaitu pertama bahwa hendaknya kita jangan suka meremehkan kemampuan seseorang dengan hanya melihat bentuk fisiknya karena siapa mengira di balik semua itu tersimpan kekuatan yang luar biasa.

Cerita Dongeng Indonesia memuat dengan lengkap unsur-unsur dan kaidah baku dalam menyajikan cerita dan dongeng, meliputi unsur Intrinsik yaitu meliputi Tema, Amanat/Pesan Moral, Alur Cerita/Plot, Perwatakan/Penokohan, Latar/Setting, dan Sudut pandang. dan kadang disertai unsur Ekstrinsik Cerita.


Legenda Arya Penangsang

Legenda Arya Penangsang
Dikisahkan, Pada masa pemerintahaan Kesultanan Demak, tersebutlah seorang adipati yang bernama Arya Penangsang. Ia berkedudukan di Kadipaten Jipang Panolan, Jawa Tengah. Arya Penangsang adalah putra Raden Kikin atau yang biasa dikenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen (bunga yang tewas di tepi sungai Bengawan Solo).

Konon, Raden Kikin tewas di tangan Raden Mukmin atau Sunan Prawata dalam sebuah peperangan karena memperebutkan tahta Kerajaan Demak untuk menggantikan Sultan Trenggana yang telah wafat (1546 M). Setelah itu, Sunan Prawata pun dinobatkan sebagai Sultan Demak. Adipati Arya Penangsang yang mendapatkan dukungan gurunya, Sunan Kudus, berniat untuk merebut tahta Kesultanan Demak dari tangan Sunan Prawata. Keinginan tersebut muncul bukan saja karena ia ingin menguasai Kerajaan Demak, tetapi juga untuk membalas dendam atas kematian ayahnya.

Pada suatu malam di tahun 1549 M, Arya Penangsang memerintahkan pasukan khusus Jipang Panolan yang dikenal dengan nama Pasukan Sureng untuk membinasakan Sunan Prawata. Pasukan itu dipimpin oleh Rangkud. Setibanya di kediaman Sunan Prawata, Rangkut berhasil menyelinap masuk ke dalam kamar tidur Sunan Prawata sementara para anak buahnya berjaga-jaga di luar. Ketika itu, Sunan Prawata sedang menderita sakit sehingga tidak dapat berbuat banyak selain pasrah. Ia pun mengakui kesalahannya dan rela untuk diakhiri hidupnya oleh orang yang tidak dikenalnya itu.

“Hai, Kisanak, habisilah nyawaku! Aku akan bertanggung jawab atas kematian Raden Kikin. Tapi, tolong kamu jangan melukai istriku!” iba Sunan Prawata. Rangkud mengabulkan permintaan itu. Namun, ketika ia menghujamkan kerisnya ke tubuh Sunan Prawata, ternyata keris itu tembus hingga mengenai tubuh istri Sunan Prawata yang berlindung di balik punggung suaminya. Tak ayal lagi, istri Sunan Prawata pun tewas. Melihat istrinya meninggal, Sunan Prawata menjadi marah. Dalam keadaan terluka parah, ia segera mencabut keris yang menancap di tubuhnya lalu dilemparkannya ke arah Rangkud. Sunan Prawata pun berhasil membinasakan Rangkud sebelum dirinya menghembuskan nafas terakhir.

Sementara itu, Arya Penangsang yang telah menguasai Demak semakin bengis. Ia pun berniat membinasakan menantu Sultan Trenggana yang bernama Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir di Pajang. Untuk itu, ia mengutus empat orang anak buahnya ke Pajang. Setibanya di sana, keempat utusan tersebut justru tertangkap oleh Sultan Hadiwijaya. Namun, mereka tidak dihukum melainkan diberi hadiah dan disuruh kembali ke Jipang. Kepulangan keempat utusan yang membawa hadiah tersebut tentu saja membuat Arya Penangsang tersinggung dan sangat marah. Ia pun memutuskan untuk menghabisi nyawa Hadiwijaya dengan tangannya sendiri.

Sultan Hadiwijaya yang mengetahui kabar tersebut menganggap Arya Penangsang telah memberontak terhadap Pajang. Namun, ia tidak ingin memerangi Arya Penangsang secara langsung karena mereka sama-sama anggota keluarga Demak dan saudara seperguruan, yaitu sama-sama murid Sunan Kudus. Untuk menghadapi pemberontak itu, Sultan Hadiwijaya mengadakan sayembara. Barang siapa mampu membinasakan Arya Penangsang, maka ia akan diberi hadiah tanah di daerah Pati dan hutan Mataram.

Atas desakan Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan dan adik angkatnya, Ki Penjawi, yang merupakan abdi dalem Sultan Hadiwijaya, pun ikut dalam sayembara tersebut. Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Martani segera menyusun rencana dan taktik peperangan melawan Arya Penangsang. Ki Juru Martani menyarankan kepada Ki Ageng Pamanahan untuk mengusahakan agar mereka dapat membawa tombak pusaka Kyai Plered milik Sultan Hadiwijaya ke medan perang karena hanya tombak itulah yang mampu melukai Arya Penangsang. Atas saran Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan memohon kepada Sultan Hadiwijaya untuk membawa serta anak angkat sang Sultan yang bernama Danang Sutawijaya ke medan perang. Dengan begitu, Sultan Hadiwijaya akan meminjamkan keris pusakanya kepada putra angkatnya itu. Sultan Hadiwijaya pun menyetujuinya.

Pada hari yang telah ditentukan, Ki Ageng Pamanahan bersama rombongannya berangkat menuju daerah Jipang. Penyerangan itu dipimpin oleh Ki Juru Martani. Setibanya di tepi sungai Bengawan Solo yang merupakan tapal batas wilayah Sela dan Jipang, Ki Juru Martani segera mengatur siasat. Danang Sutawijaya tampak berdiri di samping seekor kuda putih yang akan ditungganginya untuk menghadapi Arya Penangsang. Di tangannya tergenggam tombak pusaka Kyai Plered yang ujungnya ditutupi kain putih dan diberi rangkaian bunga melati.

Tak jauh dari tempat pasukan Pajang bersembunyi, tampak seorang pekatik (pemelihara kuda) yang sedang mencari rumput untuk kuda milik Arya Penangsang. Ki Juru Martani pun segera menangkap pekatik itu lalu melukai telinganya dan mengalunginya surat tantangan. Setelah itu, si pekatik disuruh segera kembali ke Jipang untuk menghadap Arya Penangsang. Setibanya di Jipang, pekatik itu segera menyerahkan surat itu kepada Patih Matahun untuk dibaca di hadapan Arya Penangsang. Isi surat itu isinya sebagai berikut:

“Hei, Penangsang! Yen sira nyata lanang sejati, payo tandhing lawan ingsun. Dak anti sapinggiring bengawan tapel wates. Yen ora wani nekani, nyata sira wandu kang memba rupa! Budhala tanpa rowang! Ingsun wong Sela wus tan bisa suwe nahan sedyaning tyas kapeing nigas janggamu!” Artinya: “Hai, Penangsang! Jika kamu nyata lelaki sejati, mari bertanding denganku! Aku tunggu di pinggir sungai tapal batas. Jika tidak berani datang, jelaslah kamu seorang banci yang menyamar sebagai lelaki! Berangkatlah tanpa prajurit! Aku orang Sela sudah gatal ingin memenggal kepalamu!”

Mengetahui isi surat itu, Arya Penangsang langsung menggebrak meja di sampingnya. Ia lalau segera mengenakan pakaian perang dan keris pusakanya yang bernama Kyai Setan Kober. “Prajurit! Siapkan Kyai Gagak Rimang!” seru Arya Penangsang. Kyai Gagak Rimang adalah kuda andalan Arya Penangsang yang biasa dipakai untuk mengalahkan musuh-musuhnya dalam peperangan. Gagak Rimang perawakannya gagah dan tegap, badannya tinggi dan besar serta sangat lincah. Warna bulunya yang hitam mengkilap membuatnya tampak berwibawa.

Dengan mata merah penuh amarah, Arya Penangsang segera menunggangi Kyai Gagak Rimang menuju sungai tapal batas wilayah Jipang. Setibanya di tepi sungai, Arya Penangsang melihat seorang anak kecil yang sedang menunggang kuda putih di seberang sungai. Anak kecil itu tak lain adalah Sutawijaya yang sudah siap dengan tombak pusakanya. Melihat kedatangan Arya Penangsang, Danang Sutawijaya berteriak dengan suara nyaring. “Hai, Penangsang! Lawanlah aku kalau kamu berani!” Dada Arya Panangsang bagai dibakar api mendengar suara anak kecil yang menantangnya itu. Ia tidak sanggup lagi menahan emosinya. Dengan segera ia menarik tali kekang Kyai Gagak Rimang sehingga kuda itu meringkik dan berlari menapaki dasar Sungai Bengawan yang hanya setinggi lutut. Betapa senangnya hati Danang Sutawijaya melihat Arya Penangsang mendahuluinya mencebur ke sungai. Konon, jika terjadi peperangan atau pertarungan di Sungai Bengawan, pihak yang lebih dahulu turun ke sungai pasti akan kalah.

Tanpa ragu lagi, Sutawijaya segera menghela kuda putihnya turun ke sungai. Begitu ia berhadap-hadapan dengan Arya Penangsang, putra Ki Ageng Pamanahan itu segera memutar arah kudanya sehingga membelakangi kuda Arya Penangsang. Kuda hitam kesayangan Arya penangsang pun tiba-tiba bertingkah aneh dan menjadi liar karena kuda yang ditunggangi Sutawijaya ternyata kuda betina. Kemaluan kuda putih terlihat dengan jelas karena ekornya sengaja diikat ke atas. Semakin lama Kyai Gagak Rimang semakin liar dan berontak hingga Arya Penangsang kerepotan mengendalikannya. Melihat Arya Penangsang sibuk mengendalikan kudanya, Sutawijaya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia segera menusukkan tombak pusaka Kyai Plered ke perut Arya Penangsang hingga robek hingga sebagian ususnya terburai. Meski demikian, Arya Penangsang yang sakti itu masih hidup. Ia berusaha meraih ususnya yang terburai itu lalu dikalungkannya pada warangka keris pusaknya. Setelah itu, ia segera menarik tali kekang kudanya untuk mengejar Sutawijaya. Begitu mendekat, Arya Penangsang meraih tubuh Sutawijaya yang kecil itu dan membantingnya ke tanah hingga tak berdaya. Arya Penangsang segera turun dari kudanya lalu menginjak dada Sutawijaya.

Melihat putranya dalam keadaan bahaya, Ki Ageng Pamanahan segera keluar dari tempat persembunyiannya. Ia segera menggunakan siasatnya dengan berpura-pura memihak kepada Arya Penangsang. “Hai, Arya Penangsang! Habisi saja nyawa putra Sultan Hadiwijaya itu!” teriak Ki Ageng Pamanahan. Arya Penangsang pun baru sadar bahwa ternyata anak kecil yang diinjak dadanya itu adalah putra musuhnya. Dengan geram, ia segera mencabut keris Kyai Brongot Setan Kober dari pinggangnya. Namun, ia lupa jika sebagian ususnya tersampir di warangka keris pusaka itu. Begitu ia mengangkat keris itu, seketika itu pula ususnya terputus. Tak ayal lagi, tubuh Adipati Jipang itu tersungkur ke tanah dan tewas seketika.

Setelah Arya Penangsang tewas, Ki Ageng Pemanahan beserta rombongannya kembali ke Pajang untuk melapor kepada Sultan Hadiwijaya bahwa Arya Penangsang telah tewas. Sultan Hadiwijaya sangat gembira mendengar kabar gembira itu. Sesuai dengan janjinya, maka ia pun menghadiahi Ki Ageng Pamanahan dan Ki Penjawi tanah di Pati dan tanah di hutan Mataram. Setelah melalui perundingan, Ki Ageng Pamanahan mendapatkan bagian tanah di hutan Mataram sedangkan Ki Penjawi mendapatkan bagian tanah di Pati. Atas restu Sultan Hadiwijaya, keduanya menuju ke bagian masing-masing. Ki Ageng Pamanahan pun mengajak putranya, Danang Sutawijaya, untuk ikut serta pindah dan menetap di daerah yang menjadi bagiannya. Di sana, mereka mengubah hutan belantara itu menjadi pusat kerajaan besar yang bernama Kerajaan Mataram.

Penjelasan singkat tentang Arya Penangsang
Arya Penangsang adalah seorang adiati di Jipang Panolan yang sakti dan memiliki sifat pendendam. Dengan sifatnya itu, ia memerintahkan anak buahnya untuk menghabisi nyawa Raja Kerajaan Demak, Sunan Prawata. Tidak puas dengan itu, Arya Penangsang pun berniat untuk membinasakan Sultan Hadiwijaya yang berkedudukan di Pajang.

Cerita Dongeng Indonesia memuat dengan lengkap unsur-unsur dan kaidah baku dalam menyajikan cerita dan dongeng, meliputi unsur Intrinsik yaitu meliputi Tema, Amanat/Pesan Moral, Alur Cerita/Plot, Perwatakan/Penokohan, Latar/Setting, dan Sudut pandang. dan kadang disertai unsur Ekstrinsik Cerita.


Cerita Legenda Gunung Wurung

Cerita Legenda Gunung Wurung
Zaman dahulu kala, di sebuah daerah (yang sekarang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Karangsambung - Kebumen), terdapat sebuah perkampungan kecil yang wilayahnya terdiri dari hamparan tanah datar. Tak satu pun gundukan tanah atau perbukitan yang terlihat di sekitarnya.

Di suatu malam yang senyap, para sesepuh kampung tampak sedang berdoa kepada para dewa di Kahyangan. Dengan penuh khusyuk, mereka memohon agar dibuatkan sebuah gunung di dekat tempat tinggal mereka. Rupanya, doa mereka dikabulkan oleh para dewa. Pembuatan gunung itu akan dimulai besok harinya dan akan dikerjakan dalam waktu semalam. Tetapi dengan syarat, tak seorang pun warga yang boleh melihat pada saat gunung itu dibuat.
Para sesepuh kampung menyanggupi persyaratan itu. 

Keesokan paginya, mereka mengumpulkan para warga untuk menyampaikan berita gembira dan persyaratan tersebut. “Wahai, seluruh wargaku! Kami menghimbau kepada kalian semua agar pada saat hari menjelang senja, masuklah ke dalam rumah kalian masing-masing dan tak seorang pun yang boleh keluar rumah hingga matahari terbit besok pagi!” ujar seorang sesepuh kampung. “Maaf, Tuan! Bencana apa yang akan melanda kampung kita? Kenapa kami dilarang keluar rumah?” tanya seorang warga dengan bingung. “Ketahuilah, semua bahwa para dewa akan membuatkan sebuah gunung untuk kita dan tak seorang pun yang boleh melihat ketika mereka sedang bekerja,” jelas seorang sesepuh kampung yang lain.

Setelah mendengar penjelasan itu, barulah para warga mengerti mengapa mereka dilarang keluar rumah. Ketika hari menjelang senja, suasana kampung mulai sepi. Seluruh warga telah masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu rapat-rapat. Tak berapa lama kemudian, para dewa pun turun dari Kahyangan untuk mulai bekerja membangun sebuah gunung di daerah hulu kampung. Mula-mula mereka membangun tiang-tiang yang kokoh.

Setelah separuh malam bekerja, para dewa telah selesai membangun tiang-tiang tersebut. Tiang-tiang tersebut kemudian mereka timbuni dengan tanah hingga nantinya membentuk sebuah gunung. Para dewa bekerja sesuai dengan tugas masing-masing tanpa berbicara sepatah kata pun. Mereka terus bekerja hingga larut malam tanpa mengenal lelah. Ketika hari menjelang pagi, pembuatan gunung itu hampir selesai, tinggal menyelesaikan penimbunannya yang tersisa sedikit lagi. Pada saat para dewa masih sibuk bekerja, tiba-tiba dari arah kampung seorang gadis berjalan menuju ke luk ulo (sungai) yang berada di sekitar tempat pembuatan gunung tersebut. Rupanya, gadis itu tidak mengetahui pengumuman tentang larangan keluar rumah pada malam itu. Sebab, pada waktu pengumuman itu disampaikan oleh salah seorang sesepuh kampung, ia tidak hadir dan tak seorang pun warga yang memberitahu tentang hal itu. Gadis itu datang ke sungai karena ingin mencuci beras untuk dimasak. Ia berjalan tanpa memperhatikan keadaan di sekelilingnya karena suasana masih gelap. Pada saat akan turun ke sungai, gadis itu terperanjat karena tiba-tiba di hadapannya ada sebuah bukit. “Hah, kenapa tiba-tiba ada bukit di tempat ini? Padahal, hari-hari sebelumnya tempat ini masih datar? Ya Tuhan, mimpikah aku ini?” gumam gadis itu seolah tidak percaya terhadap apa yang dilihatnya. Namun, begitu melihat beberapa sosok makhluk yang menyeramkan bergerak cepat sambil mengangkat batu besar tanpa sepatah kata pun, gadis itu langsung berlari meninggalkan sungai karena ketakutan. “Tolooong… Tolooong… Tolong aku!” teriaknya dengan keras. Gadis itu terus berlari tanpa memperdulikan lagi keadaan dirinya sehingga beras yang hendak dicucinya dilemparkan begitu saja. Tak ayal lagi, beras tersebut berceceran di sekitar bukit. Konon, beras tersebut menjelma menjadi bebatuan yang bentuknya mirip dengan beras.

Para dewa yang mendengar suara teriakan gadis itu menjadi tersentak. Mereka pun menyadari bahwa ternyata pekerjaan mereka telah disaksikan oleh manusia. “Penduduk kampung telah melanggar perjanjian kita. Ayo kita tinggalkan tempat ini!” seru salah satu dewa kepada dewa yang lainnya. Akhirnya, para dewa tersebut menghentikan pekerjaannya. Mereka meninggalkan tempat itu dan bergegas kembali ke Kahyangan. Padahal, pembangunan gunung itu belum selesai. Akhirnya, batallah pembuatan gunung itu.

Penjelasan singkat tentang Gunung Wurung
Gunung Wurung adalah sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Indonesia. Bentuk gunung ini cukup unik, karena tingginya hanya berkisar 80 meter dan tidak memiliki puncak tertinggi. Menurut masyarakat setempat, gunung ini dibuat oleh para dewa dari Kahyangan. Namun, mereka telah menghentikan pekerjaannya sebelum gunung itu selesai dibuat.

Cerita Dongeng Indonesia memuat dengan lengkap unsur-unsur dan kaidah baku dalam menyajikan cerita dan dongeng, meliputi unsur Intrinsik yaitu meliputi Tema, Amanat/Pesan Moral, Alur Cerita/Plot, Perwatakan/Penokohan, Latar/Setting, dan Sudut pandang. dan kadang disertai unsur Ekstrinsik Cerita.


Aji Saka Legenda Asal Usul Huruf Jawa

Aji Saka Legenda Asal Usul Huruf Jawa
Dikisahkan, di Dusun Medang Kawit, Desa Majethi, Jawa Tengah, hiduplah seorang pendekar tampan yang sakti mandraguna bernama Aji Saka. Ia mempunyai sebuah keris pusaka dan serban sakti. Selain sakti, ia juga rajin dan baik hati. Ia senantiasa membantu ayahnya bekerja di ladang, dan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Ke mana pun pergi, ia selalu ditemani oleh dua orang abdinya yang bernama Dora dan Sembada.

Pada suatu hari, Aji Saka meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mengembara bersama Dora. Sementara, Sembada ditugaskan untuk membawa dan menjaga keris pusaka miliknya ke Pegunungan Kendeng. “Sembada! Bawa keris pusaka ini ke Pegunungan Kendeng. Kamu harus menjaganya dengan baik dan jangan berikan kepada siapa pun sampai aku sendiri yang mengambilnya!” pesan Aji Saka kepada Sembada. “Baik, Tuan! Saya berjanji akan menjaga dan merawat keris pusaka Tuan!” jawab Sembada.

Setelah itu, berangkatlah Sembada ke arah utara menuju Gunung Kendeng, sedangkan Aji Saka dan Dora berangkat mengembara menuju ke arah selatan. Mereka tidak membawa bekal pakaian kecuali yang melekat pada tubuh mereka. Setelah setengah hari berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat. Ketika akan melintasi hutan tersebut, tiba-tiba Aji Saka mendengar teriakan seorang laki-laki meminta tolong.

“Tolong...!!! Tolong...!!! Tolong...!!!” demikian suara itu terdengar. Mendengar teriakan itu, Aji Saka dan Dora segera menuju ke sumber suara tersebut. Tak lama kemudian, mereka mendapati seorang laki-laki paruh baya sedang dipukuli oleh dua orang perampok. “Hei, hentikan perbuatan kalian!” seru Aji Saka.

Kedua perampok itu tidak menghiraukan teriakan Aji Saka. Mereka tetap memukuli laki-laki itu. Melihat tindakan kedua perampok tersebut, Aji Saka pun naik pitam. Dengan secepat kilat, ia melayangkan sebuah tendangan keras ke kepala kedua perampok tersebut hingga tersungkur ke tanah dan tidak sadarkan diri. Setelah itu, ia dan abdinya segera menghampiri laki-laki itu. “Maaf, Pak! Kalau boleh kami tahu, Bapak dari mana dan kenapa berada di tengah hutan ini?” tanya Aji Saka.

Lelaki paruh baya itu pun bercerita bahwa dia seorang pengungsi dari Negeri Medang Kamukan. Ia mengungsi karena raja di negerinya yang bernama Prabu Dewata Cengkar suka memakan daging manusia. Setiap hari ia memakan daging seorang manusia yang dipersembahkan oleh Patihnya yang bernama Jugul Muda. Karena takut menjadi mangsa sang Raja, sebagian rakyat mengungsi secara diam-diam ke daerah lain.

Aji Saka dan abdinya tersentak kaget mendengar cerita laki-laki tua yang baru saja ditolongnya itu. “Bagaimana itu bisa terjadi, Pak?” tanya Aji Saka dengan heran. “Begini, Tuan! Kegemaran Prabu Dewata Cengkar memakan daging manusia bermula ketika seorang juru masak istana teriris jarinya, lalu potongan jari itu masuk ke dalam sup yang disajikan untuk sang Prabu. Rupanya, beliau sangat menyukainya. Sejak itulah sang Prabu menjadi senang makan daging manusia dan sifatnya pun berubah menjadi bengis,” jelas lelaki itu.

Mendengar pejelasan itu, Aji Saka dan abdinya memutuskan untuk pergi ke Negeri Medang Kamukan. Ia ingin menolong rakyat Medang Kamukan dari kebengisan Prabu Dewata Cengkar. Setelah sehari semalam berjalan keluar masuk hutan, menyebarangi sungai, serta menaiki dan menuruni bukit, akhirnya mereka sampai di kota Kerajaan Medang Kamukan. Suasana kota itu tampak sepi. Kota itu bagaikan kota mati. Tak seorang pun yang terlihat lalu lalang di jalan. Semua pintu rumah tertutup rapat. Para penduduk tidak mau keluar rumah, karena takut dimangsa oleh sang Prabu. “Apa yang harus kita lakukan, Tuan?” tanya Dora. “Kamu tunggu di luar saja! Biarlah aku sendiri yang masuk ke istana menemui Raja bengis itu,” jawab Aji Saka dengan tegas.

Dengan gagahnya, Aji Saka berjalan menuju ke istana. Suasana di sekitar istana tampak sepi. Hanya ada beberapa orang pengawal yang sedang mondar-mandir di depan pintu gerbang istana. “Berhenti, Anak Muda!” cegat seorang pengawal ketika Aji Saka berada di depan pintu gerbang istana. “Kamu siap dan apa tujuanmu kemari?” tanya pengawal itu. “Saya Aji Saka dari Medang Kawit ingin bertemu dengan sang Prabu,” jawab Aji Saka. “Hai, Anak Muda! Apakah kamu tidak takut dimangsa sang Prabu?” sahut seorang pengawal yang lain. “Ketahuilah, Tuan-Tuan! Tujuan saya kemari memang untuk menyerahkan diri saya kepada sang Prabu untuk dimangsa,” jawab Aji Saka.

Para pengawal istana terkejut mendengar jawaban Aji Saka. Tanpa banyak tanya, mereka pun mengizinkan Aji Saka masuk ke dalam istana. Saat berada di dalam istana, ia mendapati Prabu Dewata Cengkar sedang murka, karena Patih Jugul tidak membawa mangsa untuknya. Tanpa rasa takut sedikit pun, ia langsung menghadap kepada sang Prabu dan menyerahkan diri untuk dimangsa. “Ampun, Gusti Prabu! Hamba Aji Saka. Jika Baginda berkenan, hamba siap menjadi santapan Baginda hari ini,” kata Aji Saka.

Betapa senangnya hati sang Prabu mendapat tawaran makanan. Dengan tidak sabar, ia segera memerintahkan Patih Jugul untuk menangkap dan memotong-motong tubuh Aji Saka untuk dimasak. Ketika Patih Jugul akan menangkapnya, Aji Saka mundur selangkah, lalu berkata: “Ampun, Gusti! Sebelum ditangkap, Hamba ada satu permintaan. Hamba mohon imbalan sebidang tanah seluas serban hamba ini,” pinta Aji Saka sambil menunjukkan serban yang dikenakannya. “Hanya itu permintaanmu, hai Anak Muda! Apakah kamu tidak ingin meminta yang lebih luas lagi?” sang Prabu menawarkan. “Sudah cukup Gusti. Hamba hanya menginginkan seluas serban ini,” jawab Aji Saka dengan tegas. “Baiklah kalau begitu, Anak Muda! Sebelum memakanmu, akan kupenuhi permintaanmu terlebih dahulu,” kata sang Prabu.

Aji Saka pun melepas serban yang melilit di kepalanya dan menyerahkannya kepada sang Prabu. “Ampun, Gusti! Untuk menghindari kecurangan, alangkah baiknya jika Gusti sendiri yang mengukurnya,” ujar Aji Saka. Prabu Dewata Cengkar pun setuju. Perlahan-lahan, ia melangkah mundur sambil mengulur serban itu. Anehnya, setiap diulur, serban itu terus memanjang dan meluas hingga meliputi seluruh wilayah Kerajaan Medang Kamulan. Karena saking senangnya mendapat mangsa yang masih muda dan segar, sang Prabu terus mengulur serban itu sampai di pantai Laut Selatan tanpa disadarinya,. Ketika ia masuk ke tengah laut, Aji Saka segera menyentakkan serbannya, sehingga sang Prabu terjungkal dan seketika itu pula berubah menjadi seekor buaya putih. Mengetahui kabar tersebut, seluruh rakyat Medang Kamulan kembali dari tempat pengungsian mereka. Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi Raja Medang Kamulan menggantikan Prabu Dewata Cengkar dengan gelar Prabu Anom Aji Saka. Ia memimpin Kerajaan Medang Kamulan dengan arif dan bijaksana, sehingga seluruh rakyatnya hidup tenang, aman, makmur, dan sentosa.

Pada suatu hari, Aji Saka memanggil Dora untuk menghadap kepadanya. “Dora! Pergilah ke Pegunungan Kendeng untuk mengambil kerisku. Katakan kepada Sembada bahwa aku yang menyuruhmu,” titah Raja yang baru itu. “Daulah, Gusti!” jawab Dora seraya memohon diri.

Setelah berhari-hari berjalan, sampailah Dora di Pegunungan Gendeng. Ketika kedua sahabat tersebut bertemu, mereka saling rangkul untuk melepas rasa rindu. Setelah itu, Dora pun menyampaikan maksud kedatangannya kepada Sembada. “Sembada, sahabatku! Kini Tuan Aji Saka telah menjadi raja Negeri Medang Kamulan. Beliau mengutusku kemari untuk mengambil keris pusakanya untuk dibawa ke istana,” ungkap Dora. “Tidak, sabahatku! Tuan Aji berpesan kepadaku bahwa keris ini tidak boleh diberikan kepada siapa pun, kecuali beliau sendiri yang datang mengambilnya,” kata Sembada dengan tegas.

Karena merasa mendapat tanggungjawab dari Aji Saka, Dora pun harus mengambil keris itu dari tangan Sembada untuk dibawa ke istana. Kedua dua orang abdi bersahabat tersebut tidak ada yang mau mengalah. Mereka bersikeras mempertahankan tanggungjawab masing-masing dari Aji Saka. Mereka bertekad lebih baik mati daripada menghianati perintah tuannya. Akhirnya, terjadilah pertarungan sengit antara kedua orang bersahabat tersebut. Mereka sama kuat dan tangguhnya, sehingga mereka pun mati bersama.

Sementara itu, Aji Saka sudah mulai gelisah menunggu kedatangan Dora dari Pegunung Gendeng membawa kerisnya. “Apa yang terjadi dengan Dora? Kenapa sampai saat ini dia belum juga kembali?” gumam Aji Saka. Sudah dua hari Aji Saka menunggu, namun Dora tak kunjung tiba. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyusul abdinya itu ke Pegunungan Gendeng seorang diri. Betapa terkejutnya ia saat tiba di sana. Ia mendapati kedua abdi setianya telah tewas. Mereka tewas karena ingin membuktikan kesetiaannya kepada tuan mereka. Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya tersebut, Aji Saka menciptakan aksara Jawa atau dikenal dengan istilah dhentawyanjana, yang mengisahkan pertarungan antara dua abdinya yang memiliki kesaktiaan yang sama dan tewas bersama. Huruf-huruf tersebut juga dikenal dengan istilah carakan. Adapun susunan hurufnya sebagai berikut:
  • Ha na ca ra ka : Ada utusan
  • Da ta sa wa la : Saling bertengkar
  • Pa dha ja ya nya : Sama saktinya
  • Ma ga ba tha nga : Mati bersama
Sekelumit tentang Aji Saka
Aji Saka adalah seorang kesatria yang sakti mandraguna dari daerah Jawa Tengah, Indonesia. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Aji Saka merupakan orang yang kali pertama menciptakan aksara Jawa yang dikenal dengan istilah dhentawyanjana atau carakan. Aji saka menciptakan aksara Jawa tersebut ketika ia sedang mengembara bersama seorang abdinya yang bernama Dora.

Cerita Dongeng Indonesia memuat dengan lengkap unsur-unsur dan kaidah baku dalam menyajikan cerita dan dongeng, meliputi unsur Intrinsik yaitu meliputi Tema, Amanat/Pesan Moral, Alur Cerita/Plot, Perwatakan/Penokohan, Latar/Setting, dan Sudut pandang. dan kadang disertai unsur Ekstrinsik Cerita.