Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas dan Syair Jelek, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.
Permaisuri Raja Harun Al Rasyid memiliki dua orang putra. Al Amin adalah nama putra pertama, sedangkan putra kedua diberi nama Al Makmun. Al Amin adalah putra yang sangat bodoh dan pemalas. Sedangkan saudaranya, yaitu Al Makmun ternyata seorang anak yang rajin dan pandai di berbagai cabang ilmu, terutama sastra.
Baginda Raja sangat menyayangi Al Makmun. Hal ini dikarenakan kecerdasan dan kepintaran yang dimiliki oleh putranya tersebut. Namun bagi permaisuri, ini dianggap tidak adil. Menurut permaisuri, tidak boleh berat sebelah (pilih kasih). Kedua anak harus mendapat kasih sayang yang sama. Dan lagi, keduanya merupakan putra raja dari ibu yang sama dan dari Ayah yang sama (sekandung).
"Suamiku, mengapa engkau hanya menyayangi Al Makmun saja, tidak kepada Al Amin juga?" tanya Zubaidah, Permaisuri sang Raja. "Sebab ia tidak pandai bersyair dan tidak mahir dalam sastra," jawab sang raja. "Dengarkan suamiku, jika mau, Al Amin dapat lebih menguasai ilmu sastra daripada Al Makmun. Sesungguhnya ia lebih cerdas, cuma malas saja,". Ucap sang Permaisuri "Besok aku akan panggil Abu Nawas untuk membuktikan perkataanku, menguji kepandaian anakku dalam bersyair," Gumam sang Permaisuri dalam hati.
Setelah shalat subuh, Abu Nawas sudah berada di istana untuk memenuhi panggilan sang permaisuri. "Abu Nawas, dengarkan syair putraku ini, apa menurutmu dia mahir?" Ucap sang permaisuri dengan penuh bangga. Kemudian Al Amin membaca beberapa bait syair, "Kami merupakan keturunan Bani Abbas, kami duduk di atas kursi."
Mendengar syair tersebut, Abu Nawas hampir tidak kuat untuk menahan tawa. "Apa syairku bagus, Abu Nawas?" tanya Al Amin kepada Abu Nawas. "Syair macam apa itu?" jawab Abu Nawas sambil menahan tawanya, dan sakit di perutnya. Al Amin sangat marah mendengar cemoohan Abu Nawas tersebut. “Prajurit, jebloskan ia ke dalam penjara!”. Perintah sang pangeran kepada pengawal istana.
Raja tidak mengetahui kejadian tersebut, merasa heran. Kemana Abu Nawas, lama tidak kelihatan di istana? Raja merasa rindu akan kehadiran Abu Nawas. Biasanya ia mampu menghibur hati, dapat melenyapkan penat dengan candaan maupun kecerdikannya. Akhirnya, raja mengetahui keberadaan Abu Nawas. Raja mendengar bahwa ia telah dimasukkan ke dalam penjara oleh salah satu puteranya. Raja mengajak Al Amin untuk pergi ke penjara, menjenguk Abu Nawas. "Kenapa kamu memenjarakan Abu Nawas?" tanya Baginda raja kepada sang putera "Ia telah mencemooh dan menertawakan karyaku, ayahanda," jawab Al Amin. "Itu berarti syairmu memang jelek. Abu Nawas itu ahli sastra, bisa menilai keindahan sebuah syair" kata Raja menasehati putranya. "Baiklah, beri saya kesempatan untuk memperindah syairku," ucap Al Amin sambil beranjak pergi, meninggalkan Ayahnya.
Beberapa hari, Al Amin menyiapkan syair untuk diperdengarkan kepada Raja dan semua orang istana. Setelah merasa siap, Al Amin mengutarakan maksudnya. Ia ingin agar Raja mengadakan pertemuan untuk menguji karyanya. Hari yang ditentukan telah tiba. Raja, Abu Nawas, dan beberapa orang penyair terkenal sudah ada di istana. Permaisuri sudah tidak sabar untuk mendengar syair karya putranya. Sekaligus mendengar komentar Abu Nawas dan para penyair. Al Amin pun mulai membaca syairnya. "Wahai binatang yang sedang duduk bersimpuh, kurasa tidak ada yang setolol engkau, kau seperti hidangan yang diolesi dengan minyak sapi kental, juga seperti warna seekor kuda belang."
Mendengar syair itu, Abu Nawas segera bangkit dari duduknya dan hendak pergi dari tempatnya. "Mau kemana engkau, wahai Abu Nawas?" tanya raja Harun Al Rasyid. "Aku lebih suka masuk ke penjara saja daripada mendengar syair tadi. “Sama saja kalau ditunda, akhirnya saya akan dimasukkan ke penjara lagi olehnya jika saya berkomentar”. Abu Nawas menambahkan.
Raja tak kuasa untuk tertawa terpingkal-pingkal sambil memegang perutnya, mendengar jawaban Abu Nawas. Bahkan sampai keluar air mata. Sedangkan sang permaisuri, Zubaidah hanya bengong tak mampu mengeluarkan kata-kata.