Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas Lolos dari Maut, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.
Karena dianggap hampir membunuh Baginda maka Abu Nawas mendapat celaka. Dengan kekuasaan yang absolut Baginda memerintahkan prajuritprajuritnya langsung menangkap dan menyeret Abu Nawas untuk dijebloskan ke penjara.
Waktu itu Abu Nawas sedang bekerja di ladang karena musim tanam kentang akan tiba. Ketika para prajurit kerajaan tiba, ia sedang mencangkul. Dan tanpa alasan yang jelas mereka langsung menyeret Abu Nawas sesuai dengan titah Baginda. Abu Nawas tidak berkutik. Kini ia mendekam di dalam penjara.
Beberapa hari lagi kentang-kentang itu harus ditanam. Sedangkan istrinya tidak cukup kuat untuk melakukan pencangkulan. Abu Nawas tahu bahwa tetanggatetangganya tidak akan bersedia membantu istrinya sebab mereka juga sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Tidak ada yang bisa dilakukan di dalam ‘penjara kecuali mencari jalan keluar.
Seperti biasa Abu Nawas tidak bisa tidur dan tidak enak makan. la hanya makan sedikit. Sudah dua hari ia meringkuk di dalam penjara. Wajahnya murung. Hari ketiga Abu Nawas memanggil seorang pengawal. “Bisakah aku minta tolong kepadamu?” kata Abu Nawas membuka pembicaraan. “Apa itu?” kata pengawal itu tanpa gairah. “Aku ingin pinjam pensil dan selembar kertas. Aku ingin menulis surat untuk istriku. Aku harus menyampaikan sebuah rahasia penting yang hanya boleh diketahui oleh istriku saja.”
Pengawal itu berpikir sejenak lalu pergi meninggalkan Abu Nawas. Ternyata pengawal itu merighadap Baginda Raja untuk melapor. Mendengar laporan dari pengawal, Baginda segera menyediakan apa yang diminta Abu Nawas. Dalam hati, Baginda bergumam mungkin kali ini ia bisa mengalahkan Abu Nawas. Abu Nawas menulis surat yang berbunyi: “Wahai istriku, janganlah engkau sekali-kali menggali ladang kita karena aku menyembunyikan harta karun dan senjata di situ. Dan tolong jangan bercerita kepada siapa pun.”
Tentu saja surat itu dibaca oleh Baginda karena beliau ingin tahu apa sebenarnya rahasia Abu Nawas. Setelah membaca surat itu Baginda merasa puas dan langsung memerintahkan beberapa pekerja istana untuk menggali ladang Abu Nawas. Dengan peralatan yarig dibutuhkan mereka berangkat dan langsung menggali ladang Abu Nawas. Istri Abu Nawas merasa heran. Mungkinkah suaminya minta tolong pada mereka?
Pertanyaan itu tidak terjawab karena mereka kembali ke istana tanpa pamit. Mereka hanya menyerahkan surat Abu Nawas kepadanya. Lima hari kemudian Abu Nawas menerima surat dari istrinya. Surat itu berbunyi: “Mungkin suratmu dibaca sebelum diserahkan kepadaku. Karena beberapa pekerja istana datang ke sini dua hari yang lalu, mereka menggali seluruh ladang kita. Lalu apa yang harus kukerjakan sekarang?” Rupanya istrinya Abu Nawas belum mengerti muslihat suaminya. Tetapi dengan bijaksana Abu Nawas membalas: “Sekarang engkau bisa menanam kentang di ladang tanpa harus menggali, wahai istriku.” Kali ini Baginda tidak bersedia membaca surat Abu Nawas lagi. Bagi.nda makin mengakui keluarbiasaan akal Abu Nawas. Bahkan di dalam penjara pun Abu Nawas masih bisa melakukan pencangkulan.
Abu Nawas masih mengeram di penjara. Namun begitu Abu Nawas masih bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan memakai tangan orang lain. Baginda berpikir. Sejenak kemudian beliau segera memerintahkan sipir penjara untuk membebaskan Abu Nawas. Baginda Raja tidak ingin menanggung resiko yang lebih buruk. Karena akal Abu Nawas tidak bisa ditebak. Bahkan di dalam penjara pun Abu Nawas masih sanggup menyusahkan prang. Keputusan yang dibuat Baginda Raja untuk melepaskan Abu Nawas memang sangat tepat. Karena bila sampai Abu Nawas bertambah sakit hati maka tidak mustahil kesusahan yang akan ditimbulkan akan semakin gawat. Kini hidung Abu Nawas sudah bisa menghisap udara kebebasan di luar. Istri Abu Nawas menyambut gembira kedatangan suami yang selama ini sangat dirindukan. Abu Nawas juga riang. Apalagi melihat tanaman kentangnya akan membuahkan hasil yang bisa dipetik dalam waktu dekat.
Abu Nawas memang girang bukan kepalang tetapi ia juga merasa gundah. Bagaimana Abu Nawas tidak merasa gundah gulana sebab Baginda sudah tidak lagi memakai perangkap untuk memenjarakan dirinya. Tetapi Baginda Raja langsung memenjarakannya. Maka tidak mustahil bila suatu ketika nanti Baginda langsung menjatuhkan hukuman pancung. Abu Nawas yakin bahwa saat ini Baginda pasti sedang merencanakan sesuatu. Abu Nawas menyiapkan payung untuk menyambut hujan yang akan diciptakan Baginda Raja. Pada hari itu Abu Nawas mengumumkan dirinya sebagai ahli nujum atau tukang ramal nasib.
Sejak membuka praktek ramal-meramal nasib, Abu Nawas sering mendapat panggilan dari orang-orang terkenal. Kini Abu Nawas tidak saja dikenal sebagai orang yang hartdal daiam menciptakan gelak tawa tetapi juga sebagai ahli ramal yang jitu. Mendengar Abu Nawas mendadak menjadi ahli ramal maka Baginda Raja Harun Al Rasyid merasa khawatir. Baginda curiga jangan-jangan Abu Nawas bisa membahayakan kerajaan. Maka tanpa pikir panjang Abu Nawas ditangkap. Abu Nawas sejak semula yakin Baginda Raja kali ini berniat akan menghabisi riwayatnya. Tetapi Abu Nawas tidak begitu merasa gentar. Mungkin Abu Nawas sudah mempersiapkan tameng.
Setelah beberapa hari meringkuk di dalam penjara, Abu Nawas digiring menuju tempat kematian. Tukang penggal kepala sudah menunggu dengan pedang yang baru diasah. Abu Nawas menghampiri tempat penjagalan dengan amat tenang. Baginda merasa kagum terhadap ketegaran Abu Nawas. Tetapi Baginda juga bertanya-tanya dalam hati mengapa Abu Nawas begitu tabah menghadapi detik-detik terakhir hidupnya. Ketika algojo sudah siap mengayunkan pedang, Abu Nawas tertawa-tawa sehingga Baginda menangguhkan pemancungan.
Beliau bertanya, “Hai Abu Nawas, apakah engkau tidak merasa ngeri menghadapi pedang algojo?” “Ngeri Tuanku yang mulia, tetapi hamba juga merasa gembira.” jawab Abu Nawas sambil tersenyum. “Engkau merasa gembira?” tanya Baginda kaget. “Betul Baginda yang mulia, karena tepat tiga hari setelah kematian hamba, maka Baginda pun akan mangkat menyusul hamba ke Hang lahat, karena hamba tidak bersalah sedikit pun.” kata Abu Nawas tetap tenang.
Baginda gemetar mendengar ucapan Abu Nawas. dan tentu saja hukuman pancung dibatalkan. Abu Nawas digiring kembali ke penjara. Baginda memerintahkan agar Abu Nawas diperlakukan istimewa. Malah Baginda memerintahkan supaya Abu Nawas disuguhi hidangan yang enak-enak. Tetapi Abu Nawas tetap tidak kerasa tinggal di penjara. Abu Nawas berpesan dan setengah mengancam kepada penjaga penjara bahwa bila ia terus-menerus mendekam dalam penjara ia bisa jatuh sakit atau meninggal Baginda Raja terpaksa membebaskan Abu Nawas setelah mendengar penuturan penjaga penjara.
Cita-cita atau obsesi menghukum Abu Nawas sebenarnya masih bergolak, namun Baginda merasa kehabisan akal untuk menjebak Abu Nawas. Seorang penasihat kerajaan kepercayaan Baginda Raja menyarankan agar Baginda memanggil seorang ilmuwan-ulama yang berilmu tinggi untuk menandingi Abu Nawas. Pasti masih ada peluang untuk mencari kelemahan Abu Nawas. Menjebak pencuri harus dengan pencuri.Dan ulama dengan ulama. Baginda menerima usul yang cemerlang itu dengan hati bulat.
Setelah ulama yang berilmu tinggi berhasil ditemukan, Baginda Raja menanyakan cara terbaik menjerat Abu Nawas. Ulama itu memberi tahu caracara yang paling jitu kepada Baginda Raja. Baginda Raja manggut-manggut setuju. Wajah Baginda tidak lagi murung. Apalagi ulama itu menegaskan bahwa ramalan Abu Nawas tentang takdir kematian Baginda Raja sama sekali tidak mempunyai dasar yang kuat. Tiada seorang pun manusia yang tahu kapan dan di bumi mana ia akan mati apalagi tentang ajal orang lain.
Ulama andalan Baginda Raja mulai mengadakan persiapan seperlunya untuk memberikan pukulan fatal bagi Abu Nawas. Siasat pun dijalankan sesuai rencana. Abu Nawas terjerembab ke lubang siasat sang ulama. Abu Nawas melakukan kesalahan yang bisa menghantarnya ke tiang gantungan atau tempat pemancungan.
Benarlah peribahasa yang berbunyi sepandai-pandai tupai melompat pasti suatu saat akan terpeleset. Kini, Abu Nawas benar-benar mati kutu. Sebentar lagi ia akan dihukum mati karena jebakan sang ilmuwan-ulama. Benarkah Abu Nawas sudah keok? Kita lihat saja nanti. Banyak orang yang merasa simpati atas nasib Abu Nawas, terutama orang-orang miskin dan tertindas yang pernah ditolongnya. Namun derai air mata para pecinta dan pengagum Abu Nawas tak akan mampu menghentikan hukuman mati yang akan dijatuhkan.
Baginda Raja Harun Al Rasyid benar-benar menikmati kernenangannya. Belum pernah Baginda terlihat seriang sekarang. Keyakinan orang banyak bertambah mantap. Hanya sat orang yang tetap tidak yakin bahwa hidup Abu Nawas aka berakhir setragis itu, yaitu istri Abu Nawas. Bukankah Alia Azza Wa Jalla lebih dekat daripada urat leher. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah Yang Maha Gagah. Dan kematian adalah mutlak urusan-Nya. Semakin dekat hukuman mati bagi Abu Nawas. Orang banyak semakin resah. Tetapi bagi Abu Nawas malah sebaliknya. Semakin dekat hukuman bagi dirinya, semakin tegar hatinya.
Baginda Raja tahu bahwa ketenangan yang ditampilkan Abu Nawas hanyalah merupakan bagian dari tipu dayanya. Tetapi Baginda Raja telah bersumpah pada diri sendiri bahwa beliau tidak akan terkecoh untuk kedua kalinya. Sebaliknya Abu Nawas juga yakin, selama nyawa masih melekat maka harapan akan terus menyertainya. Tuhan tidak mungkin menciptakan alam semesta ini tanpa ditaburi harapan-harapan yang menjanjikan. Bahkan dalam keadaan yang bagaimanapun gawatnya.
Keyakinan seperti inilah yang tidak dimiliki oleh Baginda Raja dan ulama itu. Seketika suasana menjadi hening, sewaktu Bagin Raja memberi sambutan singkattentang akan dilaksanakan hukuman mati atas diri terpidana mati Abu Nawas. Kemudian tanpa memperpanjang waktu lagi Baginda Raja menanyakan permintaan terakhir Abu Nawas. Dan pertanyaan inilah yang paling dinantinantikan Abu Nawas.
“Adakah permintaan yang terakhir” “Ada Paduka yang mulia.” jawab Abu Nawas singkat. “Sebutkan.” kata Baginda. “Sudilah kiranya hamba diperkenankan memilih hukuman mati yang hamba anggap cocok wahai Baginda yang mulia.” pinta Abu Nawas. “Baiklah.” kata Baginda menyetujui permintaan Abu Nawas. “Paduka yang mulia, yang hamba pinta adalah bila pilihan hamba benar hamba bersedia dihukum pancung, tetapi jika pilihan hamba dianggap salah maka hamba dihukum gantung saja.” kata Abu Nawas memohon. “Engkau memang orang yang aneh. Dalam saat-saat yang amat genting pun engkau masih sempat bersenda gurau. Tetapi ketahuilah bagiku segala tipu muslihatmu hari ini tak akan bisa membawamu kemana-mana.” kata Baginda sambil tertawa. “Hamba tidak bersenda gurau Paduka yang mulia.” kata Abu Nawas bersungguhsungguh. Baginda makin terpingkal-pingkal. Belum selesai Baginda Raja tertawa-tawa, Abu Nawas berteriak dengan nyaring. “Hamba minta dihukum pancung!”
Semua yang hadir kaget. Orang banyak belum mengerti mengapa Abu Nawas membuat keputusan begitu. Tetapi kecerdasan otak Baginda Raja menangkap sesuatu yang lain. Sehingga tawa Baginda yang semula berderai-derai mendadak terhenti. Kening Baginda berkenyit mendengar ucapan Abu Nawas. Baginda Raja tidak berani menarik kata-katanya karena disaksikan oleh ribuan rakyatnya. Beliau sudah terlanjur mengabulkan Abu Nawas menentukan hukuman mati yang paling cocok untuk dirinya. Kini kesempatan Abu Nawas membela diri. “Baginda yang mulia, hamba tadi mengatakan bahwa hamba akan dihukum pancung. Kalau pilihan hamba benar maka hamba dihukum gantung. Tetapi di manakah letak kesalahan pilihan hamba sehingga hamba harus dihukum gantung. Padahal hamba telah memilih hukuman pancung?”
Olah kata Abu Nawas memaksa Baginda Raja dan ulama itu tercengang. Benarbenar luar biasa otak Abu Nawas ini. Rasanya tidak ada lagi manusia pintar selain Abu Nawas di negeri Baghdad ini. “Abu Nawas aku mengampunimu, tapi sekarang jawablah pertanyaanku ini. Berapa banyakkah bintang di langit?” “Oh, gampang sekali Tuanku.” “Iya, tapi berapa, seratus juta, seratus milyar?” tanya Baginda. “Bukan Tuanku, cuma sebanyak pasir di pantai.” “Kau ini…. bagaimana bisa orang menghitung pasir di pantai?” “Bagaimana pula orang bisa menghitung bintang di langit?” “Ha ha ha ha ha…! Kau memang penggeli hati.
Kau adalah pelipur laraku. Abu Nawas mulai sekarang jangan segan-segan, sering-seringlah datang ke istanaku. Aku ingin selalu mendengar lelucon leluconmu yang baru!” “Siap Baginda !”