Dongeng Fabel Kuda, Kancil dan Gajah

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Cerita Dongeng Fabel Kuda, Kancil dan Gajah, Semut dan Cicak...

Showing posts with label Hikayat. Show all posts
Showing posts with label Hikayat. Show all posts

Abu Nawas dan Telor Onta

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas Mengobati Penyakit Raja Menggunakan Telor Onta, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.
Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas Mengobati Penyakit Raja Menggunakan Telor Onta, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Suatu ketika, raja Harun sedang menderita sakit. Meski para tabib dikerahkan untuk mengobatinya, penyakit beliau tak kunjung sembuh jua. Maka, sayembara berhadiah pun digelar. Siapa yang bisa mengobati raja, berhak mendapatkan hadiah besar. Ternyata Abu Nawas tidak mau ketinggalan untuk ikut dalam sayembara ini.

Penyakit yang diderita oleh baginda, termasuk aneh. Beliau merasakan tubuhnya kaku dan terasa pegal di seluruh anggota badan. Suhu tubuh beliau panas dan tidak mampu untuk melangkahkan kakinya. Selera makan baginda hilang, dan sakit menjadi semakin parah. Raja Harun bukanlah seseorang yang mudah putus asa dan menyerah. Beliau punya tekad kuat untuk sembuh dari penyakitnya. Abu Nawas yang telah mendengar desas-desus perihal penyakit raja, berfikir keras dan memutar otaknya untuk mendapatkan cara pengobatan yang tepat. Bagaimana pun, akhirnya ia pergi juga ke istana.

Abu Nawas berjalan perlahan dan akhirnya tiba di istana. Raja terkejut melihat kedatangannya. "Abu Nawas, engkau memang seorang sastrawan hebat tapi bukan seorang tabib. Atas dasar apa, engkau hendak menyembuhkan penyakitku ini?" raja menyapa kedatangannya, sekaligus heran. Abu Nawas hanya tersenyum tulus, kemudian berusaha meyakinkan raja atas kemampuannya sebagai tabib. Awalnya sulit bagi raja menerima pengakuan Abu Nawas itu. Namun, bukan Abu Nawas kalau tidak mampu meyakinkan lawan bicara.

Kemudian Abu Nawas melakukan diagnosa, layaknya seorang tabib. "Apa keluhan tuan raja?" Tanya Abu Nawas, meniru gaya seorang tabib. "Aku tidak tahu penyebabnya, sekujur tubuhku terasa sakit dan panas. Aku merasa sangat lesu" tutur baginda. Abu Nawas langsung tertawa seketika, setelah mendengar keluhan baginda. Tentu saja, raja sangat tersinggung dengan sikap Abu Nawas. "Tenangkan diri anda, tuanku. Menurut hamba, penyakit seperti itu mudah sekali mengobatinya" Abu Nawas menjelaskan alasan ketawanya.

Raja menanyakan obat apa untuk menyembuhkan penyakitnya, dimana bisa diperoleh. "Obatnya adalah sebutir telur unta, tuanku. Telur tersebut ada di kota baghdad" Abu Nawas memberi keterangan. Raja yang ingin segera sembuh dari penyakitnya itu, sangat antusias mendengar keterangan yang diberikan oleh Abu Nawas. Esok harinya, raja beserta pengawalnya berangkat untuk mencari obat yang dimaksud. Agar tidak mengundang perhatian rakyat, raja dan para pengawal mengenakan pakaian biasa. Raja dan pasukannya mendatangi seluruh pasar yang ada di kota Baghdad. Sekeras apa pun usaha mereka, telur unta yang dimaksud tidak didapat. Raja tetap bersikeras mencarinya, meski seluruh pasukan mulai merasa kelelahan. Raja kelihatan menggerutu, serta punya rencana memberi hukuman kepada Abu Nawas jika telur unta tidak juga ditemukan.

Akhirnya raja menyerah, dan memutuskan untuk kembali ke istana. Namun, di tengah perjalanan nampak seorang lelaki tua yang sedang membawa ranting kayu. Raja menyapanya. "Sebentar kek, saya ingin menanyakan sesuatu hal" raja mencegah kakek tersebut. Setelah melihat wajah kakek, raja merasa iba. Beliau menawarkan diri untuk membawakan ranting-ranting kayu hingga ke rumah lelaki tua itu. Sesampainya di rumah kakek tua, raja mulai basa-basi. Merasa cukup dengan basa-basi, raja mulai bertanya perihal telur unta. "Mana ada telur unta?" si kakek tertawa lebar, setelah berfikir. Kakek tua memberi penjelasan, tiada telur unta di bagian dunia mana pun. Semua hewan yang punya daun telinga tidak bertelur, tapi beranak. Termasuk unta, karena ia termasuk hewan yang punya daun telinga.

Raja beserta pasukannya tersentak kaget. Raja marah besar, karena merasa bahwa Abu Nawas telah mempermainkannya. Esok harinya, Abu Nawas dipanggil untuk menghadap ke istana. "Abu Nawas, alangkah beraninya engkau mempermainkan rajamu! Mana ada unta bertelur?" raja merasa kesal luar biasa. "Benar, tuanku. Unta memang tidak mengeluarkan telur" jawab Abu Nawas, ringan. Mendengar jawaban Abu Nawas, raja segera memerintahkan kepada pengawal untuk menghukum Abu Nawas. Hukuman yang sangat berat! "Tunggu, tuanku raja. Sebelum hamba menerima hukuman, bolehkah say bertanya sesuatu hal?" ucap Abu Nawas. "Apa itu?" tanya raja penasaran. "Bagaimana kondisi kesehatan tuanku?" tanya Abu Nawas. "Tubuhku segar bugar, tidak lemas dan pegal lagi" jawab baginda. "Itu artinya, saya telah berhasil mengobati penyakit paduka. Sesuai yang tuanku janjikan, saya berhak memperoleh hadiah dari sayembara ini" Ucap Abu Nawas dengan gembira.

Raja melongo mendengar ucapan Abu Nawas. Bagaimana pun, beliau menyadari kenyataan ini. Beliau sembuh lantaran mengikuti arahan dari Abu Nawas. Sambil tersenyum, beliau mencabut hukuman kepada Abu Nawas. Tak lupa, beliau memberi hadiah kepada Abu Nawas sesuai janjinya.





Abu Nawas Ingin Terbang

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas Ingin Terbang, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.
Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas Ingin Terbang, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Pada saat itu Abu Nawas yang terkenal cerdas sedang di tangkap oleh Raja karena kritikannya terhadap Raja Harun. Namun yang namanya Abu Nawas, selalu saja punya cara cerdas untuk memoloskan diri dari hukuman. Sebelum menjalani hukuman, Ia mengaku kepada pengawal kerajaan bahwa ia memiliki ilmu tinggi dan ia ingin terbang. Kabar Abu Nawas ingin terbang akhirnya terdengar oleh Raja Harun.

“Mana mungkin Abu Nawas ingin terbang, dia tidak punya sayap, tidak punya alat-alat khusus, apakah ia punya ilmu khusus?” kata Raja Harun kepada pengawalnya. “Kami tidak tahu paduka, tetapi Abu Nawas sangat meyakinkan,” jawab pengawal. Penasaran dengan hal itu, Raja akhirnya memerintahkan agar Abu Nawas dibawa menghadap Sang Raja. “Abu Nawas, betulkah kamu ingin terbang?” tanya Raja. “Ya Tuanku, memang saya ingin terbang,” jawab Abu Nawas. “Kapan? dan dimana?” tanya Raja secara beruntun. “Hari Jumat yang akan datang ini, dan dari menara Masjid Baitul Rakhim, tak jauh dari rumah saya, jika Raja mengijinkan,” jawab Abu Nawas.

Akhirnya Sang Raja mengijinkan dan bahkan ia berjanji akan membebaskan Abu Nawas jika hal itu yang terjadi. Akan tetapi jika Abu Nawas tak bisa membuktikan, maka hukumannya akan ditambah 100 lecutan rotan, daun kuping dipotong bahkan hukuman gantung.

Berita tentang Abu Nawas ingin terbang itu pun menyebar begitu cepat, tidak hanya di lingkungan kerajaan bahkan sampai seluruh penjuru kota pun membicarakannya. Apalagi mereka juga mendengar tentang hukuman yang akan diterima Abu Nawas jika tidak dapat menepatinya.

Mendengar berita itu, diantara mereka ada yang kagum, ada juga yang deg-degan apabila ternyata Abu Nawas hanya bohong. Sebagian lagi ada juga yang mengabaikan berita itu. Mereka berkata bahwa sebentar lagi pasti Abu Nawas akan digantung karna ulahnya sendiri. Pro kontra akibat ulah Abu Nawas ini membuat masyarakat tidak henti-hentinyanya membahas soal itu. Seakan-akan tidak ada berita lain yang menarik selain itu.

Pada hari yang sudah dinantikan tiba, Jumat sesudah sholat Jumat, lapangan sekitar masjid Baitul Rakhman sudah penuh orang yang ingin menyaksikan kabar yang tersiar seantero kota. Orang biasa, rakyat, penduduk dan penguasa setempat sudah berjubel mengambil tempat masing-masing. Orang-orang menantikan saat yang paling genting dan mendebarkan. Abu Nawas dengan langkah yang sangat gagah dan tak ragu, menaiki tangga menara tertinggi dan orang-orang melihat dengan mata yang tak berkedip, terpaku dan menyatu mengikuti langkah tubuh Abu Nawas.

Orang-orang pun bertanya: “Benarkah Abu Nawas ingin terbang?Betapa luar biasanya dia”. “Silahkan terbang Abu Nawas,! Meski terbang, kau akan tetap mampus karna jatuh. Dan bila tidak jadi terbang, kau akan mampus ditiang gantungan,” ujar sebagian lainnya.

Setelah Abu Nawas sampai puncak menara, suasana menjadi tegang. Mereka merasa akan menyaksikan suatu kejadian yang mencekam dan mengagumkan. Suasana lengang, semua mata terarah hanya pada satu tujuan. Sementara diatas menara, Abu Nawas berdiri dan mulai beraksi. Ia menggerak-gerakan tangannya seolah-olah ingin terbang. Berulang kali merentangkan tangannya seperti burung serta mengibas-ngibaskannya. Namun tetap saja Abu Nawas tidak terbang. Dan orang-orang yang menyaksikan jantungnya mulai berdegup kencang.

Di Pelataran Masjid, nampak hakim sudah memutuskan hukuman. Ia terus membolak-balik kitab Undang-2nya. Kiranya hukuman apa yang pantas untuk Abu Nawas agar kejadian ini tidak terulang kembali. Orang-orang semakin bingung melihat Abu Nawas selesai beraksi dan turun dari menara. Banyak yang mengira Abu Nawas mungkin sudah gila. Lalu Abu Nawas menghampiri mereka

“Apakah kalian tadi lihat bahwa saya ingin terbang,?” ujar Abu Nawas. “Iya, kamu menggerak-gerakan tanganmu seolah ingin terbang,” jawab banyak orang. “Lalu apakah saya berbohong bahwa saya ingin terbang dari menara Masjid Baitul Rakhim,?” tanyanya.

Orang-orang mulai sadar bahwa ini adalah ulah kecerdasan Abu Nawas. Akhirnya mereka menjawab: “Benar, Abu Nawas. Kamu memang ingin terbang.” “Nah, bagaimana? Saya kan tidak bilang saya bisa terbang, tetapi saya ingin terbang, tapi tidak bisa terbang.” Mata-mata mereka saling bertatapan sembari bergumam: “Dasar si Jambul, ada saja ulahnya.” Tapi memang tidak bisa di bantah. Ia memang ingin terbang, jadi bagaimana menghukumnya? Hakimpun menjadi tak berdaya. “Bagaimana saya akan menjeratnya dengan hukuman. Dia memang tidak berbohong,” ucap hakim pasrah. Sesampainya di kerajaan, sang hakim pun menceritakan kejadian itu pada Raja. Sang Raja malah tertawa terbahak-bahak. “Aku sudah menduga, si Jambul itu pasti ada saja ulahnya. Sudah berulang kali aku dibuatnya tertawa oleh kecerdikannya .”

Sang Raja masih tertawa terbahak-bahak. Sementara sang hakim hanya diam dan wajahnya nampak kesal. Ya, memang ada-ada saja tingkah laku abu nawas. Namun semua itu masuk akal, karena memang ia seorang yang cerdas. Dia melakukan semua yang dia pernah katakan. Tidak berbohong dan selalu menepati janji. 



Abu Nawas Mati

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas Mati, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.
Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas Mati, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita. 

Baginda Raja pulang ke istana dan langsung memerintahkan para prajuritnya menangkap Abu Nawas. Tetapi Abu Nawas telah hilang entah kemana karena ia tahu sedang diburu para prajurit kerajaan. Dan setelah ia tahu para prajurit kerajaan sudah meninggalkan rumahnya, Abu Nawas baru berani pulang ke rumah. “Suamiku, para prajurit kerajaan tadi pagi mencarimu.” “Ya istriku, ini urusan gawat. Aku baru saja menjual Sultan Harun Al Rasyid menjadi budak.” “Apa?” “Raja kujadikan budak!” “Kenapa kau lakukan itu suamiku.” “Supaya dia tahu di negerinya ada praktek jual beli budak. Dan jadi budak itu sengsara.” “Sebenarnya maksudmu baik, tapi Baginda pasti marah. Buktinya para prajurit diperintahkan untuk menangkapmu.” “Menurutmu apa yang akan dilakukan Sultan Harun Al Rasyid kepadaku.” “Pasti kau akan dihukum berat.” “Gawat, aku akan mengerahkan ilmu yang kusimpan,”

Abu Nawas masuk ke dalam, ia mengambil air wudhu lalu mendirikan shalat dua rakaat. Lalu berpesan kepada istrinya apa yang harus dikatakan bila Baginda datang. Tidak berapa alama kemudian tetangga Abu Nawas geger, karena istri Abu Nawas menjerit-jerit. “Ada apa?” tanya tetangga Abu Nawas sambil tergopoh-gopoh. “Huuuuuu …. suamiku mati….!” “Hah! Abu Nawas mati?” “lyaaaa….!”

Kini kabar kematian Abu Nawas tersebar ke seluruh pelosok negeri. Baginda terkejut. Kemarahan dan kegeraman beliau agak susut mengingat Abu Nawas adalah orang yang paling pintar menyenangkan dan menghibur Baginda Raja. Baginda Raja beserta beberapa pengawai beserta seorang tabib (dokter) istana, segera menuju rumah Abu Nawas. Tabib segera memeriksa Abu Nawas. Sesaat kemudian ia memberi laporan kepada Baginda bahwa Abu Nawas memang telah mati beberapa jam yang lalu.

Setelah melihat sendiri tubuh Abu Nawas terbujur kaku tak berdaya, Baginda Raja marasa terharu dan meneteskan air mata. Beliau bertanya kepada istri Abu Nawas. “Adakah pesan terakhir Abu Nawas untukku?” “Ada Paduka yang mulia.” kata istri Abu Nawas sambil menangis. “Katakanlah.” kata Baginda Raja. “Suami hamba, Abu Nawas, memohon sudilah kiranya Baginda Raja mengampuni semua kesalahannya dunia akhirat di depan rakyat.” kata istri Abu Nawas terbata-bata. “Baiklah kalau itu permintaan Abu Nawas.” kata Baginda Raja menyanggupi.

Jenazah Abu Nawas diusung di atas keranda. Kemudian Baginda Raja mengumpulkan rakyatnya di tanah lapang. Beliau berkata, “Wahai rakyatku, dengarkanlah bahwa hari ini aku, Sultan Harun Al Rasyid telah memaafkan segala kesalahan Abu Nawas yang telah diperbuat terhadap diriku dari dunia hingga akhirat. Dan kalianlah sebagai saksinya.”

Tiba-tiba dari dalam keranda yang terbungkus kain hijau terdengar suara keras, “Syukuuuuuuuur …… !” Seketika pengusung jenazah ketakukan, apalagi melihat Abu Nawas bangkit berdiri seperti mayat hidup. Seketika rakyat yang berkumpul lari tunggang langgang, bertubrukan dan banyak yang jatuh terkilir. Abu Nawas sendiri segera berjalan ke hadapan Baginda. Pakaiannya yang putih-putih bikin Baginda keder juga. “Kau… kau…. sebenarnya mayat hidup atau memang kau hidup lagi?” tanya Baginda dengan gemetar. “Hamba masih hidup Tuanku. Hamba mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas pengampunan Tuanku.” “Jadi kau masih hidup?” “Ya, Baginda. Segar bugar, buktinya kini hamba merasa lapar dan ingin segera pulang.” “Kurang ajar! Ilmu apa yang kau pakai Abu Nawas? “Ilmu dari mahaguru sufi guru hamba yang sudah meninggal dunia…” “Ajarkan ilmu itu kepadaku…” “Tidak mungkin Baginda. Hanya guru hamba yang mampu melakukannya. Hamba tidak bisa mengajarkannya sendiri.” “Dasar pelit !” Baginda menggerutu kecewa.



Abu Nawas Asmara Memang Aneh

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas Asmara Memang Aneh, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Secara tak terduga Pangeran yang menjadi putra marikota jatuh sakit. Sudah banyak tabib yang didatangkan untuk memeriksa dan mengobati tapi tak seorang pun mampu menyembuhkannya. Akhirnya Raja mengadakan sayembara. Sayembara boleh diikuti oleh rakyat dari semua lapisan. Tidak terkecuali oleh para penduduk negeri tetangga.

Sayembara yang menyediakan hadiah menggiurkan itu dalam waktu beberapa hari berhasil menyerap ratusan peserta. Namun tak satu pun dari mereka berhasil mengobati penyakit sang pangeran. Akhirnya sebagai sahabat dekat Abu Nawas, menawarkan jasa baik untuk menolong sang putra mahkota.

Baginda Harun Al Rasyid menerima usul itu dengan penuh harap. Abu Nawas sadar bahwa dirinya bukan tabib. Dari itu ia tidak membawa peralatan apa-apa. Para tabib yang ada di istana tercengang melihat Abu Nawas yang datang tanpa peralatan yang mungkin diperlukan. Mereka berpikir mungkinkah orang macam
Abu Nawas ini bisa mengobati penyakit sang pangeran? Sedangkan para tabib terkenal dengan peralatan yang lengkap saja tidak sanggup. Bahkan penyakitnya tidak terlacak. Abu Nawas merasa bahwa seluruh perhatian tertuju padanya. Namun Abu Nawas tidak begitu memperdulikannya.

Abu Nawas dipersilahkan memasuki kamar pangeran yang sedang terbaring. la menghampiri sang pangeran dan duduk di sisinya. Setelah Abu Nawas dan sang pangeran saling pandang beberapa saat, Abu Nawas berkata, “Saya membutuhkan seorang tua yang di masa mudanya sering mengembara ke pelosok negeri.” Orang tua yang diinginkan Abu Nawas didatangkan. “Sebutkan satu persatu nama-nama desa di daerah selatan.” perintah Abu Nawas kepada orang tua itu. Ketika orang tua itu menyebutkan nama-nama desa bagian selatan, Abu Nawas menempelkan telinganya ke dada sang pangeran. Kemudian Abu Nawas memerintahkan agar menyebutkan bagian utara, barat dan timur. Setelah semua bagian negeri disebutkan, Abu Nawas mohon agar diizinkan mengunjungi sebuah desa di sebelah utara. Raja merasa heran. “Engkau kuundang ke sini bukan untuk bertamasya.” “Hamba tidak bermaksud berlibur Yang Mulia.” kata Abu Nawas. “Tetapi aku belum paham.” kata Raja. “Maafkan hamba, Paduka Yang Mulia. Kurang bijaksana rasanya bila hamba jelaskan sekarang.” kata Abu Nawas. Abu Nawas pergi selama dua hari.

Sekembali dari desa itu Abu Nawas menemui sang pangeran dan membisikkan sesuatu kemudian menempelkan telinganya ke dada sang pangeran. Lalu Abu Nawas menghadap Raja. “Apakah Yang Mulia masih menginginkan sang pangeran tetap hidup?” tanya Abu Nawas. “Apa maksudmu?” Raja balas bertanya. “Sang pangeran sedang jatuh cinta pada seorang gadis desa di sebelah utara negeri ini.” kata Abu Nawas menjelaskan. “Bagaimana kau tahu?” “Ketika nama-nama desa di seluruh negeri disebutkan tiba-tiba degup jantungnya bertambah keras ketika mendengarkan nama sebuah desa di bagian utara negeri ini. Dan sang pangeran tidak berani mengutarakannya kepada Baginda.” “Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanya Raja. “Mengawinkan pangeran dengan gadis desa itu.” “Kalau tidak?” tawar Raja ragu-ragu. “Cinta itu buta. Bila kita tidak berusaha mengobati kebutaannya, maka ia akan mati.” Rupanya saran Abu Nawas tidak bisa ditolak. Sang pangeran adalah putra satu-satunya yang merupakan pewaris tunggal kerajaan.

Abu Nawas benar. Begitu mendengar persetujuan sang Raja, sang pangeran berangsur-angsur pulih. Sebagai tanda terima kasih Raja memberi Abu Nawas sebuah cincin permata yang amat indah.



Abu Nawas dan Botol Ajaib

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas dan Botol Ajaib, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.
Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas dan Botol Ajaib, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Tidak ada henti-hentinya. Tidak ada kapok-kapoknya, Baginda selalu memanggil Abu Nawas untuk dijebak dengan berbagai pertanyaan atau tugas yang aneh-aneh. Hari ini Abu Nawas juga dipanggil ke istana. Setelah tiba di istana, Baginda Raja menyambut Abu Nawas dengan sebuah senyuman. “Akhir-akhir ini aku sering mendapat gangguan perut. Kata tabib pribadiku, aku kena serangan angin.” kata Baginda Raja memulai pembicaraan. “Ampun Tuanku, apa yang bisa hamba lakukan hingga hamba dipanggil.” tanya Abu Nawas. “Aku hanya menginginkan engkau menangkap angin dan memenjarakannya.” kata Baginda.

Abu Nawas hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. la tidak memikirkan bagaimana cara menangkap angin nanti tetapi ia masih bingung bagaimana cara membuktikan bahwa yang ditangkap itu memang benar-benar angin. Karena angin tidak bisa dilihat. Tidak ada benda yang lebih aneh dari angin. Tidak seperti halnya air walaupun tidak berwarna tetapi masih bisa dilihat. Sedangkan angin tidak.

Baginda hanya memberi Abu Nawas waktu tidak lebih dari tiga hari. Abu Nawas pulang membawa pekerjaan rumah dari Baginda Raja. Namun Abu Nawas tidak begitu sedih. Karena berpikir sudah merupakan bagian dari hidupnya, bahkan merupakan suatu kebutuhan. la yakin bahwa dengan berpikir akan terbentang jalan keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi. Dan dengan berpikir pula ia yakin bisa menyumbangkan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan terutama orang-orang miskin. Karena tidak jarang Abu Nawas menggondol sepundi penuh uang emas hadiah dari Baginda Raja atas kecerdikannya. Tetapi sudah dua hari ini Abu Nawas belum juga mendapat akal untuk menangkap angin apalagi memenjarakannya. Sedangkan besok adalah hari terakhir yang telah ditetapkan Baginda Raja. Abu Nawas hampir putus asa. Abu Nawas benar-benar tidak bisa tidur walau hanya sekejap.

Mungkin sudah takdir; kayaknya kali ini Abu Nawas harus menjalani hukuman karena gagal melaksanakan perintah Baginda. la berjalan gontai menuju istana. Di sela-sela kepasrahannya kepada takdir ia ingat sesuatu, yaitu Aladin dan lampu wasiatnya. “Bukankah jin itu tidak terlihat?” Abu Nawas bertanya kepada diri sendiri. la berjingkrak girang dan segera berlari pulang. Sesampai di rumah ia secepat mungkin menyiapkan segala sesuatunya kemudian menuju istana. Di pintu gerbang istana Abu Nawas langsung dipersilahkan masuk oleh para pengawal karena Baginda sedang menunggu kehadirannya.

Dengan tidak sabar Baginda langsung bertanya kepada Abu Nawas. “Sudahkah engkau berhasil memenjarakan angin, hai Abu Nawas?” “Sudah Paduka yang mulia.” jawab Abu Nawas dengan muka berseri-seri sambil mengeluarkan botol yang sudah disumbat. Kemudian Abu Nawas menyerahkan botol itu. Baginda menimang-nimang botol itu. “Mana angin itu, hai Abu Nawas?” tanya Baginda. “Di dalam, Tuanku yang mulia.” jawab Abu Nawas penuh takzim. “Aku tak melihat apa-apa.” kata Baginda Raja. “Ampun Tuanku, memang angin tak bisa dilihat, tetapi bila Paduka ingin tahu angin, tutup botol itu harus dibuka terlebih dahulu.” kata Abu Nawas menjelaskan. Setelah tutup botol dibuka Baginda mencium bau busuk. Bau kentut yang begitu menyengat hidung. “Bau apa ini, hai Abu Nawas?!” tanya Baginda marah. “Ampun Tuanku yang mulia, tadi hamba buang angin dan hamba masukkan ke dalam botol. Karena hamba takut angin yang hamba buang itu keluar maka hamba memenjarakannya dengan cara menyumbat mulut botol.” kata Abu Nawas ketakutan.

Tetapi Baginda tidak jadi marah karena penjelasan Abu Nawas memang masuk akal. Dan untuk kesekian kali Abu Nawas selamat.



Abu Nawas Merayu Tuhan

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas Merayu Tuhan, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.
Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas Merayu Tuhan, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Tak selamanya Abu Nawas bersikap konyol. Kadang-kadang timbul kedalaman hatinya yang merupakan bukti kesufian dirinya. Bila sedang dalam kesempatan mengajar, ia akan memberikan jawaban-jawaban yang berbobot sekalipun ia tetap menyampaikannya dengan ringan.

Seorang murid Abu Nawas ada yang sering mengajukan macam-macam pertanyaan. Tak jarang ia juga mengomentari ucapan-ucapan Abu Nawas jika sedang memperbincangkan sesuatu. Ini terjadi saat Abu Nawas menerima tiga orang tamu yang mengajukan beberapa pertanyaan kepada Abu Nawas.

“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” ujar orang yang pertama. “Orang yang mengerjakan dosa kecil,” jawab Abu Nawas. “Mengapa begitu,” kata orang pertama mengejar. “Sebab dosa kecil lebih mudah diampuni oleh Allah,” ujar Abu Nawas. Orang pertama itupun manggut-manggut sangat puas dengan jawaban Abu Nawas.

Giliran orang kedua maju. Ia ternyata mengajukan pertanyaan yang sama, “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya. “Yang utama adalah orang yang tidak mengerjakan keduanya,” ujar Abu Nawas. “Mengapa demikian?” tanya orang kedua lagi. “Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu pengampunan Allah sudah tidak diperlukan lagi,” ujar Abu Nawas santai. Orang kedua itupun manggut-manggut menerima jawaban Abu Nawas dalam hatinya.

Orang ketiga pun maju, pertanyaannya pun juga seratus persen sama. “Manakah yang lebin utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya. “Orang yang mengerjakan dosa besar lebih utama,” ujar Abu Nawas. “Mengapa bisa begitu?” tanya orang ktiga itu lagi. “Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba-Nya,” ujar Abu Nawas kalem. Orang ketiga itupun merasa puas argumen tersebut. Ketiga orang itupun lalu beranjak pergi.

Si murid yang suka bertanya kontan berujar mendengar kejadian itu. “Mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan tiga jawaban yang berbeda,” katanya tidak mengerti. Abu Nawas tersenyum. “Manusia itu terbagi atas tiga tingkatan, tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati,” jawab Abu Nawas. “Apakah tingkatan mata itu?” tanya si murid. “Seorang anak kecil yang melihat bintang di langit, ia akan menyebut bintang itu kecil karena itulah yang tampak dimatanya,” jawab Abu Nawas memberi perumpamaan. “Lalu apakah tingkatan otak itu?” tanya si murid lagi.

“Orang pandai yang melihat bintang di langit, ia akan mengatakan bahwa bintang itu besar karena ia memiliki pengetahuan,” jawab Abu Nawas. “Dan apakah tingkatan hati itu?” Tanya si murid lagi. “Orang pandai dan paham yang melihat bintang di langit, ia akan tetap mengatakan bahwa bintang itu kecil sekalipun ia tahu yang sebenarnya bintang itu besar, sebab baginya tak ada satupun di dunia ini yang lebih besar dari Allah SWT,” jawab Abu Nawas sambil tersenyum.

Si murid pun mafhum. Ia lalu mengerti mengapa satu pertanyaan bisa mendatangkan jawaban yang berbeda-beda. Tapi si murid itu bertanya lagi. “Wahai guruku, mungkinkah manusia itu menipu Tuhan?” tanyanya. “Mungkin,” jawab Abu Nawas santai menerima pertanyaan aneh itu. “Bagaimana caranya?” tanya si murid lagi. “Manusia bisa menipu Tuhan dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa,” ujar Abu Nawas. “Kalau begitu, ajarilah aku doa itu, wahai guru,” ujar si murid antusias. “Doa itu adalah, “Ialahi lastu lil firdausi ahla, Wala Aqwa alannaril Jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzambil adzimi.” (Wahai Tuhanku, aku tidak pantas menjadi penghuni surga, tapi aku tidak kuat menahan panasnya api neraka. Sebab itulah terimalah tobatku dan ampunilah segala dosa-dosaku, sesungguhnya Kau lah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar). Banyak orang yang mengamalkan doa yang merayu Tuhan ini.



Abu Nawas Cara Memilih Jalan

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas Cara Memilih Jalan, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul
Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas Cara Memilih Jalan, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Kawan-kawan Abu Nawas merencanakan akan mengadakan perjalanan wisata ke hutan. Tetapi tanpa keikutsertaan Abu Nawas perjalanan akan terasa memenatkan dan membosankan. Sehingga mereka beramai-ramai pergi ke rumah Abu Nawas untuk mengajaknya ikut serta. Abu Nawas tidak keberatan. Mereka berangkat dengan mengendarai keledai masing-masing sambil bercengkrama.

Tak terasa mereka telah menempuh hampir separo perjalanan. Kini mereka tiba di pertigaan jalan yang jauh dari perumahan penduduk. Mereka berhenti karena mereka ragu-ragu. Setahu mereka kedua jalan itu memang menuju ke hutan tetapi hutan yang mereka tuju adalah hutan wisata. Bukan hutan yang dihuni binatang-binatang buas yang justru akan membahayakan jiwa mereka.

Abu Nawas hanya bisa menyarankan untuk tidak meneruskan perjalanan karena bila salah pilih maka mereka semua tak akan pernah bisa kembali. Bukankah lebih bijaksana bila kita meninggalkan sesuatu yang meragukan? Tetapi salah seorang dari mereka tiba-tiba berkata, “Aku mempunyai dua orang sahabat yang tinggal dekat semak-semak sebelah sana. Mereka adalah saudara kembar. Tak ada seorang pun yang bisa membedakan keduanya karena rupa mereka begitu mirip. Yang satu selalu berkata jujur sedangkan yang lainnya selalu berkata bohong. Dan mereka adalah orang-orang aneh karena mereka hanya mau menjawab satu pertanyaan saja.” “Apakah engkau mengenali salah satu dari mereka yang selalu berkata benar?” tanya Abu Nawas. “Tidak.” jawab kawan Abu Nawas singkat. “Baiklah kalau begitu kita beristirahat sejenak.” usul Abu Nawas.

Abu Nawas makan daging dengan madu bersama kawan-kawannya. Seusai makan mereka berangkat menuju ke rumah yang dihuni dua orang kembar bersaudara. Setelah pintu dibuka, maka keluarlah salah seorang dari dua orang kembar bersaudara itu. “Maaf, aku sangat sibuk hari ini. Engkau hanya boleh mengajukan satu pertanyaan saja. Tidak boleh lebih.” katanya. Kemudian Abu Nawas menghampiri orang itu dan berbisik. Orang itu pun juga menjawab dengan cara berbisik pula kepada Abu Nawas. Abu Nawas mengucapkan terima kasih dan segera mohon diri. “Hutan yang kita tuju melewati jalan sebelah kanan.” kata Abu Nawas mantap kepada kawan-kawannya. “Bagaimana kau bisa memutuskan harus menempuh jalan sebelah kanan? Sedangkan kita tidak tahu apakah orang yang kita tanya itu orang yang selalu berkata benar atau yang selalu berkata bohong?” tanya salah seorang dari mereka. “Karena orang yang kutanya menunjukkan jalan yang sebelah kiri.” kata Abu Nawas.

Karena masih belum mengerti juga, maka Abu Nawas menjelaskan. “Tadi aku bertanya: Apa yang akan dikatakan saudaramu bila aku bertanya jalan yang mana yang menuju hutan yang indah?” Bila jalan yang benar itu sebelah kanan dan bila orang itu kebetulan yang selalu berkata benar maka ia akan menjawab: Jalan sebelah kiri, karena ia tahu saudara Kembarnya akan mengatakan jalan sebelah kiri sebab saudara kembarnya selalu berbohong. Bila orang itu kebetulan yang selalu berkata bohong, maka ia akan menjawab: jalan sebelah kiri, karena ia tahu saudara kembarnya akan mengatakan jalan sebelah kiri sebab saudara kembarnya selalu berkata benar.



Abu Nawas Debat Kusir Tentang Ayam

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas Debat Kusir Tentang Ayam, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.
Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas Debat Kusir Tentang Ayam, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Melihat ayam betinanya bertelur, Baginda tersenyum. Beliau memanggil pengawal agar mengumumkan kepada rakyat bahwa kerajaan mengadakan sayembara untuk umum. Sayembara itu berupa pertanyaan yang mudah tetapi memerlukan jawaban yang tepat dan masuk akal. Barangsiapa yang bisa menjawab pertanyaan itu akan mendapat imbalan yang amat menggiurkan. Satu pundi penuh uang emas. Tetapi bila tidak bisa menjawab maka hukuman yang menjadi akibatnya.

Banyak rakyat yang ingin mengikuti sayembara itu terutama orang-orang miskin. Beberapa dari mereka sampai meneteskan air liur. Mengingat beratnya hukuman yang akan dijatuhkan maka tak mengherankan bila pesertanya hanya empat orang. Dan salah satu dari para peserta yang amat sedikit itu adalah Abu Nawas.

Aturan main sayembara itu ada dua. Pertama, jawaban harus masuk akal. Kedua, peserta harus mampu menjawab sanggahan dari Baginda sendiri.

Pada hari yang telah ditetapkan para peserta sudah siap di depan panggung. Baginda duduk di atas panggung. Beliau memanggil peserta pertama. Peserta pertama maju dengan tubuh gemetar. Baginda bertanya, “Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?”

“Telur.” jawab peserta pertama. “Apa alasannya?” tanya Baginda. “Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur.” kata peserta pertama menjelaskan. “Kalau begitu siapa yang mengerami telur itu?” sanggah Baginda.

Peserta pertama pucat pasi. Wajahnya mendadak berubah putih seperti kertas. la tidak bisa menjawab. Tanpa ampun ia dimasukkan ke dalam penjara. Kemudian peserta kedua maju. la berkata, “Paduka yang mulia, sebenarnya telur dan ayam tercipta dalam waktu yang bersamaan.” “Bagaimana bisa bersamaan?” tanya Baginda. “Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur. Bila teiur lebih dahulu itu juga tidak mungkin karena telur tidak bisa menetas tanpa dierami.” kata peserta kedua dengan mantap. “Bukankah ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan?” sanggah Baginda memojokkan. Peserta kedua bjngung. la pun dijebloskan ke dalam penjara.

Lalu giliran peserta ketiga. la berkata; “Tuanku yang mulia, sebenarnya ayam tercipta lebih dahulu daripada telur.” “Sebutkan alasanmu.” kata Baginda. “Menurut hamba, yang pertama tercipta adalah ayam betina.” kata peserta ketiga meyakinkan. “Lalu bagaimana ayam betina bisa beranak-pinak seperti sekarang. Sedangkan ayam jantan tidak ada.” kata Baginda memancing. “Ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan. Telur dierami sendiri. Lalu menetas dan menurunkan anak ayam jantan. Kemudian menjadi ayam jantan dewasa dan mengawini induknya sendiri.” peserta ketiga berusaha menjelaskan. “Bagaimana bila ayam betina mati sebelum ayam jantan yang sudah dewasa sempat mengawininya?”

Peserta ketiga pun tidak bisa menjawab sanggahan Baginda. la pun dimasukkan ke penjara. Kini tiba giliran Abu Nawas. la berkata, “Yang pasti adalah telur dulu, baru ayam.” “Coba terangkan secara logis.” kata Baginda ingin tahu. “Ayam bisa mengenal telur, sebaliknya telur tidak mengenal ayam.” kata Abu Nawas singkat. Agak lama Baginda Raja merenung. Kali ini Baginda tidak nyanggah alasan Abu Nawas.



Abu Nawas Hadiah Bagi Tebakan Jitu

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas Hadiah Bagi Tebakan Jitu, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Baginda Raja Harun Al Rasyid kelihatan murung. Semua menterinya tidak ada yang sanggup menemukan jawaban dari dua pertanyaan Baginda. Bahkan para penasihat kerajaan pun merasa tidak mampu memberi penjelasan yang memuaskan Baginda. Padahal Baginda sendiri ingin mengetahui jawaban yang sebenarnya.

Mungkin karena amat penasaran, para penasihat Baginda menyarankan agar Abu Nawas saja yang memecahkan dua teka-teki yang membingungkan itu. Tidak begitu lama Abu Nawas dihadapkan. Baginda mengatakan bahwa akhirakhir ini ia sulit tidur karena diganggu oleh keingintahuan menyingkap dua rahasia alam.

“Tuanku yang mulia, sebenarnya rahasia alam yang manakah yang Paduka maksudkan?” tanya Abu Nawas ingin tahu. “Aku memanggilmu untuk menemukan jawaban dari dua teka-teki yang selama ini menggoda pikiranku.” kata Baginda. “Bolehkah hamba mengetahui kedua teka-teki itu wahai Paduka junjungan hamba.” “Yang pertama, di manakah sebenarnya batas jagat raya ciptaan Tuhan kita?” tanya Baginda. “Di dalam pikiran, wahai Paduka yang mulia.” jawab Abu Nawas tanpa sedikit pun perasaan ragu, “Tuanku yang mulia,” lanjut Abu Nawas ‘ketidakterbatasan itu ada karena adanya keterbatasan. Dan keterbatasan itu ditanamkan oleh Tuhan di dalam otak manusia. Dari itu manusia tidak akan pernah tahu di mana batas jagat raya ini. Sesuatu yang terbatas tentu tak akan mampu mengukur sesuatu yang tidak terbatas.”

Baginda mulai tersenyum karena merasa puas mendengar penjelasan Abu Nawas yang masuk akal. Kemudian Baginda melanjutkan teka-teki yang kedua.

“Wahai Abu Nawas, manakah yang lebih banyak jumlahnya : bintang-bintang di langit ataukah ikan-ikan di laut?” “Ikan-ikan di laut.” jawab Abu Nawas dengan tangkas. “Bagaimana kau bisa langsung memutuskan begitu. Apakah engkau pernah menghitung jumlah mereka?” tanya Baginda heran. “Paduka yang mulia, bukankah kita semua tahu bahwa ikan-ikan itu setiap hari ditangkapi dalam jumlah besar, namun begitu jumlah mereka tetap banyak seolah-olah tidak pernah berkurang karena saking banyaknya. Sementara bintang-bintang itu tidak pernah rontok, jumlah mereka juga banyak.” jawab Abu Nawas meyakinkan.

Seketika itu rasa penasaran yang selama ini menghantui Baginda sirna tak berbekas. Baginda Raja Harun Al Rasyid memberi hadiah Abu Nawas dan istrinya uang yang cukup banyak. Tidak seperti biasa, hari itu Baginda tiba-tiba ingin menyamar menjadi rakyat biasa. Beliau ingin menyaksikan kehidupan di luar istana tanpa sepengetahuan siapa pun agar lebih leluasa bergerak.

Baginda mulai keluar istana dengan pakaian yang amat sederhana layaknya seperti rakyat jelata. Di sebuah perkampungan beliau melihat beberapa orang berkumpul. Setelah Baginda mendekat, ternyata seorang ulama sedang menyampaikan kuliah tentang alam barzah. Tiba-tiba ada seorang yang datang dan bergabung di situ, la bertanya kepada ulama itu. “Kami menyaksikan orang kafir pada suatu waktu dan mengintip kuburnya, tetapi kami tiada mendengar mereka berteriak dan tidak pula melihat penyiksaan-penyiksaan yang katanya sedang dialaminya. Maka bagaimana cara membenarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dilihat mata?”

Ulama itu berpikir sejenak kemudian ia berkata, “Untuk mengetahui yang demikian itu harus dengan panca indra yang lain. Ingatkah kamu dengan orang yang sedang tidur? Dia kadangkala bermimpi dalam tidurnya digigit ular, diganggu dan sebagainya. la juga merasa sakit dan takut ketika itu bahkan memekik dan keringat bercucuran pada keningnya. la merasakan hal semacam itu seperti ketika tidak tidur. Sedangkan engkau yang duduk di dekatnya menyaksikan keadaannya seolah-olah tidak ada apa-apa. Padahal apa yang dilihat serta dialaminya adalah dikelilirigi ular-ular. Maka jika masalah mimpi yang remeh saja sudah tidak mampu mata lahir melihatnya, mungkinkah engkau bisa melihat apa yang terjadi di alam barzah?”

Baginda Raja terkesan dengan penjelasan ulama itu. Baginda masih ikut mendengarkan kuliah itu. Kini ulama itu melanjutkan kuliahnya tentang alam akhirat. Dikatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu, termasuk benda-benda. Salah satu benda-benda itu adalah mahkota yang amat luar biasa indahnya. Tak ada yang lebih indah dari barang-barang di surga karena barang-barang itu tercipta dari cahaya. Saking ihdahnya maka satu mahkota jauh lebih bagus dari dunia dan isinya. Baginda makin terkesan. Beliau pulang kembali ke istana.

Baginda sudah tidak sabar ingin menguji kemampuan Abu Nawas. Abu Nawas dipanggil: Setelah menghadap Bagiri “Aku menginginkan engkau sekarang juga berangkat ke surga kemudian bawakan aku sebuah mahkota surga yang katanya tercipta dari cahaya itu. Apakah engkau sanggup Abu Nawas?”

“Sanggup Paduka yang mulia.” kata Abu Nawas langsung menyanggupi tugas yang mustahil dilaksanakan itu. “Tetapi Baginda harus menyanggupi pula satu sarat yang akan hamba ajukan.” “Sebutkan sarat itu.” kata Baginda Raja. “Hamba mohon Baginda menyediakan pintunya agar hamba bisa memasukinya.” “Pintu apa?” tanya Baginda belum mengerti. Pintu alam akhirat.” jawab Abu Nawas. “Apa itu?” tanya Baginda ingin tahu. “Kiamat, wahai Padukayang mulia. Masing-masing alam mempunyai pintu. Pintu alam dunia adalah liang peranakan ibu. Pintu alam barzah adalah kematian. Dan pintu alam akhirat adalah kiamat. Surga berada di alam akhirat. Bila Baginda masih tetap menghendaki hamba mengambilkan sebuah mahkota di
surga, maka dunia harus kiamat teriebih dahulu.”

Mendengar penjetasan Abu Nawas Baginda Raja terdiam. Di sela-sela kebingungan Baginda Raja Harun Al Rasyid, Abu Nawas bertanya lagi,”Masihkah Baginda menginginkan mahkota dari surga?” Baginda Raja tidak menjawab. Beliau diam seribu bahasa, Sejenak kemudian Abu Nawas mohon diri karena Abu Nawas sudah tahu jawabnya.



Abu Nawas Hamil dan Hendak Melahirkan

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas Hamil dan Hendak Melahirkan, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Sultan Harun Al-Rasyid masygul berat, konon, penyebabnya sudah tujuh bulan Abu Nawas tidak menghadap ke Istana. Akibatnya, suasana Balairung jadi lengang, sunyi senyap. Sejak dilarang datang ke Istana, Abu Nawas memang benar-benar tidak pernah muncul di Istana. “Mungkin Abu Nawas marah kepadaku,” pikir Sultan, maka diutuslah seorang punggawa ke rumah Abu Nawas. “Tolong sampaikan kepada Sultan, aku sakit hendak bersalin,” jawab Abu Nawas kepada punggawa yang datang ke rumah Abu Nawas menyampaikan pesan Sultan. “Aku sedang menunggu dukun beranak untuk mengelurkan bayiku ini,” kata Abu Nawas lagi sambil mengelus-elus perutnya yang buncit.

“Ajaib benar,” kata Baginda dalam hati, setelah mendengar laporan punggawa setianya. “Baru hari ini aku mendengar kabar seorang lelaki bisa hamil dan sekarang hendak bersalin. Dulu mana ada lelaki melahirkan. Aneh, maka timbul keinginan Sultan untuk menengok Abu Nawas. Maka berangkatlah dia diiringi sejumlah mentri dan para punggawa ke rumah Abu Nawas.

Begitu melihat Sultan datang, Abu Nawas pun berlari-lari menyamabut danm menyembah kakinya, seraya berkata, “Ya tuanku Syah Alam, berkenan juga rupanya tuanku datang ke rumah hamba yang hina dina ini.” Sultan dipersilahkan duduk di tempat yang paling terhormat, sementara Abu Nawas duduk bersila di bawahnya. “Ya tuanku Syah Alam, apakah kehendak duli Syah Alam datang ke rumah hamba ini? Rasanya bertahta selama bertahun-tahun baru kali ini tuanku datang ke rumah hamba,” tanya Abu Nawas.

“Aku kemari karena ingin tahu keadaanmu,” jawab Sultan, “Engkau dikabarkan sakit hendak melahirkan dan sedang menunggu dukun beranak, sejak zaman nenek moyangku hingga sekarang, aku belum pernah mendengar ada seorang lelaki mengandung dan melahirkan, itu sebabnya aku datang kemari.”

Abu Nawas tidak menjawab, ia hanya tersenyum. “Coba jelaskan perkatanmu. Siapa lelaki yang hamil dan siapa dukun beranaknya,” tanya Sultan lagi. Maka dengan senang hati berceritalah Abu Nawas. “Knon, ada seorang raja mengusir seorang pembesar istana. Tetapi setelah lima bulan berlalu, tanpa alasan yang jelas, sang Raja memanggil kembali pembear tersebut ke Istana, ini ibarat hubungan laki-laki dan perempuan yang kemudian hamil tanpa menikah. Tentu saja itu melanggar adat dan agama, menggegerkan seluruh negeri.

Lagi pula apabila seorang mengeluarkan titah, tidak boleh mencabut perintahnya lagi, jika itu dilakukan, ibarat menjilat air ludah sendiri, itulah tanda-tanda pengecut. Oleh akrena itu harus berpikir masak-masak sebelum bertindak. Itulah tamsil seorang lelaki yang hendak bersalin, adapun dukun beranak yang ditumggu, adalah baginda kemari,” baginda kemari kata Abu Nawas, adapun beranak yang ditunggu kedatangan Baginda kemari, “kata Abu Nawas.” Dengan kedatangan baginda kemari, berarti hamba sudah melahirkan, yang dimaksud dengan bersalin adalah hilangnya rasa sakit atau takut hamba kepada Baginda.”

“Bukan begitu, kata Sultan. “Ketika aku melarang kamu datang lagi ke istana, itu tidak sungguh-sungguh, melainkan hanya bergurau. Besok datanglah engkau ke istana, aku ingin bicara denganmu. Memang di sana banyak mentri, tetapi tidak seperti kamu. lagipula selama engkau tidak hadir di istana, selama itu pula hilanglah cahaya Balairungku”. “Segala titah baginda, patik junjung tinggi tuanku,” sembah Abu Nawas dengan takdzim. Tetapi Sutan cuma geleng-geleng kepala. Dan tidak seberapa lama kemudian Sultan pun kembali ke Istana dengan perasaan heran bercampur geli….

Air Susu yang Pemalu
Suatu hari Sultan Harun Al-Rasyid berjalan-jalan di pasar. Tiba-tiba ia memergoki Abu Nawas tengah memegang botol berisi anggur. Sultan pun menegur san Penyair, “Wahai Abu Nawas, apa yang tengah kau pegang itu?” Dengan gugup Abu Nawas menjawab, “Ini susu Baginda.” “Bagaimana mungkin air susu ini berwarna merah, biasanya susu kan berwarna putih bersih,” kata Sultan keheranan sambil mengambil botol yang di pegang Abu Nawas. “Betul Baginda, semula air susu ini berwarna putih bersih, saat melihat Baginda yang gagah rupawan, ia tersipu-sipu malu, dan merona merah.” Mendengar jawaban Abu Nawas, baginda pun tertawa dan meninggalkannya sambil geleng-geleng kepala.



Abu Nawas dan Syair Jelek

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas dan Syair Jelek, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.
Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas dan Syair Jelek, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Permaisuri Raja Harun Al Rasyid memiliki dua orang putra. Al Amin adalah nama putra pertama, sedangkan putra kedua diberi nama Al Makmun. Al Amin adalah putra yang sangat bodoh dan pemalas. Sedangkan saudaranya, yaitu Al Makmun ternyata seorang anak yang rajin dan pandai di berbagai cabang ilmu, terutama sastra.

Baginda Raja sangat menyayangi Al Makmun. Hal ini dikarenakan kecerdasan dan kepintaran yang dimiliki oleh putranya tersebut. Namun bagi permaisuri, ini dianggap tidak adil. Menurut permaisuri, tidak boleh berat sebelah (pilih kasih). Kedua anak harus mendapat kasih sayang yang sama. Dan lagi, keduanya merupakan putra raja dari ibu yang sama dan dari Ayah yang sama (sekandung).

"Suamiku, mengapa engkau hanya menyayangi Al Makmun saja, tidak kepada Al Amin juga?" tanya Zubaidah, Permaisuri sang Raja. "Sebab ia tidak pandai bersyair dan tidak mahir dalam sastra," jawab sang raja. "Dengarkan suamiku, jika mau, Al Amin dapat lebih menguasai ilmu sastra daripada Al Makmun. Sesungguhnya ia lebih cerdas, cuma malas saja,". Ucap sang Permaisuri "Besok aku akan panggil Abu Nawas untuk membuktikan perkataanku, menguji kepandaian anakku dalam bersyair," Gumam sang Permaisuri dalam hati.

Setelah shalat subuh, Abu Nawas sudah berada di istana untuk memenuhi panggilan sang permaisuri. "Abu Nawas, dengarkan syair putraku ini, apa menurutmu dia mahir?" Ucap sang permaisuri dengan penuh bangga. Kemudian Al Amin membaca beberapa bait syair, "Kami merupakan keturunan Bani Abbas, kami duduk di atas kursi."

Mendengar syair tersebut, Abu Nawas hampir tidak kuat untuk menahan tawa. "Apa syairku bagus, Abu Nawas?" tanya Al Amin kepada Abu Nawas. "Syair macam apa itu?" jawab Abu Nawas sambil menahan tawanya, dan sakit di perutnya. Al Amin sangat marah mendengar cemoohan Abu Nawas tersebut. “Prajurit, jebloskan ia ke dalam penjara!”. Perintah sang pangeran kepada pengawal istana.

Raja tidak mengetahui kejadian tersebut, merasa heran. Kemana Abu Nawas, lama tidak kelihatan di istana? Raja merasa rindu akan kehadiran Abu Nawas. Biasanya ia mampu menghibur hati, dapat melenyapkan penat dengan candaan maupun kecerdikannya. Akhirnya, raja mengetahui keberadaan Abu Nawas. Raja mendengar bahwa ia telah dimasukkan ke dalam penjara oleh salah satu puteranya. Raja mengajak Al Amin untuk pergi ke penjara, menjenguk Abu Nawas. "Kenapa kamu memenjarakan Abu Nawas?" tanya Baginda raja kepada sang putera "Ia telah mencemooh dan menertawakan karyaku, ayahanda," jawab Al Amin. "Itu berarti syairmu memang jelek. Abu Nawas itu ahli sastra, bisa menilai keindahan sebuah syair" kata Raja menasehati putranya. "Baiklah, beri saya kesempatan untuk memperindah syairku," ucap Al Amin sambil beranjak pergi, meninggalkan Ayahnya.

Beberapa hari, Al Amin menyiapkan syair untuk diperdengarkan kepada Raja dan semua orang istana. Setelah merasa siap, Al Amin mengutarakan maksudnya. Ia ingin agar Raja mengadakan pertemuan untuk menguji karyanya. Hari yang ditentukan telah tiba. Raja, Abu Nawas, dan beberapa orang penyair terkenal sudah ada di istana. Permaisuri sudah tidak sabar untuk mendengar syair karya putranya. Sekaligus mendengar komentar Abu Nawas dan para penyair. Al Amin pun mulai membaca syairnya. "Wahai binatang yang sedang duduk bersimpuh, kurasa tidak ada yang setolol engkau, kau seperti hidangan yang diolesi dengan minyak sapi kental, juga seperti warna seekor kuda belang."

Mendengar syair itu, Abu Nawas segera bangkit dari duduknya dan hendak pergi dari tempatnya. "Mau kemana engkau, wahai Abu Nawas?" tanya raja Harun Al Rasyid. "Aku lebih suka masuk ke penjara saja daripada mendengar syair tadi. “Sama saja kalau ditunda, akhirnya saya akan dimasukkan ke penjara lagi olehnya jika saya berkomentar”. Abu Nawas menambahkan.

Raja tak kuasa untuk tertawa terpingkal-pingkal sambil memegang perutnya, mendengar jawaban Abu Nawas. Bahkan sampai keluar air mata. Sedangkan sang permaisuri, Zubaidah hanya bengong tak mampu mengeluarkan kata-kata.


Abu Nawas dan Harimau Berjenggot

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas Harimau Berjenggot, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.
Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas Harimau Berjenggot, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

“Hai Abu Nawas,” seru Khalifah Harun Al-Rasyid. “Sekarang juga kamu harus dapat mempersembahkan kepadaku seekor harimau berjenggot, jika gagal, aku bunuh kau.”

Kata-kata itu merupakan perintah Sultan yang diucapkan dengan penuh tegas dan kegeraman. Dari bentuk mulutnya ketika mengucapkan kalimat itu jelas betapa Sultan menaruh dendam kesumat kepada Abu Nawas yang telah berkali-kali mempermainkan dirinya dengan cara-cara yang sangat kurang ajar. Perintah itu merupakan cara Baginda untuk dapat membunuh Abu Nawas. “Ya tuanku Syah Alam,” jawab Abu Nawas. “semua perintah paduka akan hamba laksanakan, namun untuk yang satu ini hamba mohon waktu delapan hari.” “Baik,” kata Baginda.

Alkisah, pulanglah Abu Nawas ke rumah. Agaknya ia sudah menangkap gelagat bahwa Raja sangat marah kepadanya, dicarinya akal supaya dapat mencelakakan diriku, agar terbalas dendamnya,” pikir Abu Nawas. “jadi aku juga harus berhati-hati.” Sesampainya di rumah dipanggilnya emapt orang tukang kayu dan disuruhnya membuat kandang macan. Hanya dalam waktu tiga hari kandang itu pun siap sudah. Kepada istrinya ia berpesan agar menjamu orang yang berjenggot yang datang kerumah. “Apabila adinda dengar kakanda mengetuk pintu kelak, suruh dia masuk kedalam kandang itu,” kata Abu Nawas sambil menunjuk kandang tersebut. Ia kemudian bergegas pergi ke Musalla dengan membawa sajadah.

“Baik,” kata istrinya. “Hai Abu Nawas, tumben Lu shalat di sini?” bertanya Imam dan penghulu mushalla itu. Sebenarnya saya mau menceritakan hal ini kepada orang lain, tapi kalau tidak kepada tuan penghulu kepada siapa lagi saya mengadu,” jawab Abu Nawas. “Tadi malam saya ribut dengan istri saya, itu sebabnya saya tidak mau pulang ke rumah.” “Pucuk dicinta, ulam tiba,” pikir penghulu itu. “Kubiarkan Abu Nawas tidur disini dan aku pergi kerumah Abu Nawas menemui istrinya, sudah lama aku menaruh hati kepada perempuan cantik itu.”

“Hai Abu Nawas,” kata si penghulu, “Bolehkah aku menyelesaikan perselisihan dengan istrimu itu?” “Silakan,” jawab Abu Nawas. “Hamba sangat berterima kasih atas kebaikan hati tuan.”

Maka pergilah penghulu ke rumah Abu Nawas dengan hati berbungan-bunga, dan dengan wajah berseri-seri diketuknya pintu rumah Abu Nawas. Begitu pintu terbuka ia langsung mengamit istri Abu Nawas dan diajak duduk bersanding. “Hai Adinda,,,” katanya. “Apa gunanya punya suami jahat dan melarat, lagi pula Abu Nawas hidupnya tak karuan, lebih baik kamu jadi istriku, kamu dapat hidup senang dan tidak kekurangan suatu apa.” “Baiklah kalau keinginan tuan demikian,” jawab istri Abu awas. Tak berapa lama kemudian terdengar pintu diketuk orng, ketukan itu membuat penghulu belingsatan, “kemana aku harus bersembunyi ia bertanya kepada nyonya rumah. “Tuan penghulu….” Jawab istri Abu Nawas, “Silahkan bersembunyi di dalam kandang itu,” ia lalu menunjuk kandang yang terletak di dalam kamar Abu Nawas.

Tanpa pikir panjang lagi penghulu itu masuk ke dalam kandang itu dan menutupnya dari dalam, sedangkan istri Abu Nawas segera membuka pintu, sambil menengok ke kiri-kanan, Abu Nawas masuk ke dalam rumah. “Hai Adinda, apa yang ada di dalam kandang itu.?” Tanya Abu Nawas. “Tidak ada apa-apa,” jawab Istrinya. “Apa putih-putih itu?” tanya Abu Nawas, lalu dilihatnya penghulu itu gemetar karena malu dan ketakutan.

Setelah delapan hari Abu Nawas memanggil delapan kuli untuk memikul kandang itu ke Istana. Di Bagdad orang gempar ingin melihat Harimau berjenggot. Seumur hidup, jangankan melihat, mendengar harimau berjenggot pun belum pernah. Kini Abu Nawas malah dapat seekor. Mereka terheran-heran akan kehebatan Abu Nawas. Tetapi begitu dilihat penghulu di dalam kandang, mereka tidak bisa bilang apa-apa selain mengiringi kandang itu sampai ke Istana hingga menjadi arak-arakan yang panjang. Si penghulu malu bukan main, arang di muka kemana hendak disembunyikan. Tidak lama kemudia sampailah iring-iringan itu ke dalam Istana. “Hai Abu Nawas, apa kabar?” tanya Baginda Sultan, “Apa kamu sudah berhasil mendapatkan harimau berjenggot?” “Dengan berkat dan doa tuanku, Alhamdulillah hamba berhasil,” jawab Abu Nawas.

Maka dibawalah kandang itu ke hadapan Baginda, ketika Baginda hendak melihat harimau tersebut, si penghulu memalingkan mukanya ke arah lain dengan muka merah padam karena malu, akan tetapi kemanapun ia menoleh, kesitu pula Baginda memelototkan matanya. Tiba-tiba Baginda menggeleng-gelengkan kepala dengan takjub, sebab menurut penglihatan beliau yang ada di dalam kandang itu adalah penghulu Musalla. Abu Nawas buru-buru menimpali, “Ya tuanku, itulah Harimau berjenggot.”

Tapi baginda tidak cepat tanggap, beliau termenung sesaat, kenapa penghulu dikatakan harimau berjenggot, tiba-tiba baginda bergoyang kekiri dan ke kanan seperti orang berdoa. “Hm, hm, hm oh penghulu…” “Ya Tuanku Syah Alam,” kata Abu Nawas, “Perlukah hamba memberitahukan kenapa hamba dapat menangkap harimau berjenggot ini di rumah hamba sendiri ?” “Ya, ya,” ujar Baginda sambil menoleh ke kandang itu dengan mata berapi-api. “ya aku maklum sudah.”

Bukan main murka baginda kepada penghulu itu, sebab ia yang semestinya menegakkan hukum, ia pula yang melanggarnya, ia telah berkhianat. Baginda segera memerintahkan punggawa mengeluarkan penghulu dari kandang dan diarak keliling pasar setelah sebelumnya di cukur segi empat, agar diketahui oleh seluruh rakyat betapa aibnya orang yang berkhianat.



Abu Nawas Lolos dari Maut

Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas Lolos dari Maut, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.
Cerita Dongeng Indonesia adalah Portal Edukasi yang memuat artikel tentang Hikayat Abu Nawas Lolos dari Maut, Dongeng Anak Indonesia, Cerita Rakyat dan Legenda Masyarakat Indonesia, Dongeng Nusantara, Cerita Binatang, Fabel, Hikayat, Dongeng Asal Usul, Kumpulan Kisah Nabi, Kumpulan Cerita Anak Indonesia, Cerita Lucu,Tips Belajar, Edukasi Anak Usia Dini, PAUD, dan Balita.

Karena dianggap hampir membunuh Baginda maka Abu Nawas mendapat celaka. Dengan kekuasaan yang absolut Baginda memerintahkan prajuritprajuritnya langsung menangkap dan menyeret Abu Nawas untuk dijebloskan ke penjara.

Waktu itu Abu Nawas sedang bekerja di ladang karena musim tanam kentang akan tiba. Ketika para prajurit kerajaan tiba, ia sedang mencangkul. Dan tanpa alasan yang jelas mereka langsung menyeret Abu Nawas sesuai dengan titah Baginda. Abu Nawas tidak berkutik. Kini ia mendekam di dalam penjara.

Beberapa hari lagi kentang-kentang itu harus ditanam. Sedangkan istrinya tidak cukup kuat untuk melakukan pencangkulan. Abu Nawas tahu bahwa tetanggatetangganya tidak akan bersedia membantu istrinya sebab mereka juga sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Tidak ada yang bisa dilakukan di dalam ‘penjara kecuali mencari jalan keluar.

Seperti biasa Abu Nawas tidak bisa tidur dan tidak enak makan. la hanya makan sedikit. Sudah dua hari ia meringkuk di dalam penjara. Wajahnya murung. Hari ketiga Abu Nawas memanggil seorang pengawal. “Bisakah aku minta tolong kepadamu?” kata Abu Nawas membuka pembicaraan. “Apa itu?” kata pengawal itu tanpa gairah. “Aku ingin pinjam pensil dan selembar kertas. Aku ingin menulis surat untuk istriku. Aku harus menyampaikan sebuah rahasia penting yang hanya boleh diketahui oleh istriku saja.”

Pengawal itu berpikir sejenak lalu pergi meninggalkan Abu Nawas. Ternyata pengawal itu merighadap Baginda Raja untuk melapor. Mendengar laporan dari pengawal, Baginda segera menyediakan apa yang diminta Abu Nawas. Dalam hati, Baginda bergumam mungkin kali ini ia bisa mengalahkan Abu Nawas. Abu Nawas menulis surat yang berbunyi: “Wahai istriku, janganlah engkau sekali-kali menggali ladang kita karena aku menyembunyikan harta karun dan senjata di situ. Dan tolong jangan bercerita kepada siapa pun.”

Tentu saja surat itu dibaca oleh Baginda karena beliau ingin tahu apa sebenarnya rahasia Abu Nawas. Setelah membaca surat itu Baginda merasa puas dan langsung memerintahkan beberapa pekerja istana untuk menggali ladang Abu Nawas. Dengan peralatan yarig dibutuhkan mereka berangkat dan langsung menggali ladang Abu Nawas. Istri Abu Nawas merasa heran. Mungkinkah suaminya minta tolong pada mereka?

Pertanyaan itu tidak terjawab karena mereka kembali ke istana tanpa pamit. Mereka hanya menyerahkan surat Abu Nawas kepadanya. Lima hari kemudian Abu Nawas menerima surat dari istrinya. Surat itu berbunyi: “Mungkin suratmu dibaca sebelum diserahkan kepadaku. Karena beberapa pekerja istana datang ke sini dua hari yang lalu, mereka menggali seluruh ladang kita. Lalu apa yang harus kukerjakan sekarang?” Rupanya istrinya Abu Nawas belum mengerti muslihat suaminya. Tetapi dengan bijaksana Abu Nawas membalas: “Sekarang engkau bisa menanam kentang di ladang tanpa harus menggali, wahai istriku.” Kali ini Baginda tidak bersedia membaca surat Abu Nawas lagi. Bagi.nda makin mengakui keluarbiasaan akal Abu Nawas. Bahkan di dalam penjara pun Abu Nawas masih bisa melakukan pencangkulan.

Abu Nawas masih mengeram di penjara. Namun begitu Abu Nawas masih bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan memakai tangan orang lain. Baginda berpikir. Sejenak kemudian beliau segera memerintahkan sipir penjara untuk membebaskan Abu Nawas. Baginda Raja tidak ingin menanggung resiko yang lebih buruk. Karena akal Abu Nawas tidak bisa ditebak. Bahkan di dalam penjara pun Abu Nawas masih sanggup menyusahkan prang. Keputusan yang dibuat Baginda Raja untuk melepaskan Abu Nawas memang sangat tepat. Karena bila sampai Abu Nawas bertambah sakit hati maka tidak mustahil kesusahan yang akan ditimbulkan akan semakin gawat. Kini hidung Abu Nawas sudah bisa menghisap udara kebebasan di luar. Istri Abu Nawas menyambut gembira kedatangan suami yang selama ini sangat dirindukan. Abu Nawas juga riang. Apalagi melihat tanaman kentangnya akan membuahkan hasil yang bisa dipetik dalam waktu dekat.

Abu Nawas memang girang bukan kepalang tetapi ia juga merasa gundah. Bagaimana Abu Nawas tidak merasa gundah gulana sebab Baginda sudah tidak lagi memakai perangkap untuk memenjarakan dirinya. Tetapi Baginda Raja langsung memenjarakannya. Maka tidak mustahil bila suatu ketika nanti Baginda langsung menjatuhkan hukuman pancung. Abu Nawas yakin bahwa saat ini Baginda pasti sedang merencanakan sesuatu. Abu Nawas menyiapkan payung untuk menyambut hujan yang akan diciptakan Baginda Raja. Pada hari itu Abu Nawas mengumumkan dirinya sebagai ahli nujum atau tukang ramal nasib.

Sejak membuka praktek ramal-meramal nasib, Abu Nawas sering mendapat panggilan dari orang-orang terkenal. Kini Abu Nawas tidak saja dikenal sebagai orang yang hartdal daiam menciptakan gelak tawa tetapi juga sebagai ahli ramal yang jitu. Mendengar Abu Nawas mendadak menjadi ahli ramal maka Baginda Raja Harun Al Rasyid merasa khawatir. Baginda curiga jangan-jangan Abu Nawas bisa membahayakan kerajaan. Maka tanpa pikir panjang Abu Nawas ditangkap. Abu Nawas sejak semula yakin Baginda Raja kali ini berniat akan menghabisi riwayatnya. Tetapi Abu Nawas tidak begitu merasa gentar. Mungkin Abu Nawas sudah mempersiapkan tameng.

Setelah beberapa hari meringkuk di dalam penjara, Abu Nawas digiring menuju tempat kematian. Tukang penggal kepala sudah menunggu dengan pedang yang baru diasah. Abu Nawas menghampiri tempat penjagalan dengan amat tenang. Baginda merasa kagum terhadap ketegaran Abu Nawas. Tetapi Baginda juga bertanya-tanya dalam hati mengapa Abu Nawas begitu tabah menghadapi detik-detik terakhir hidupnya. Ketika algojo sudah siap mengayunkan pedang, Abu Nawas tertawa-tawa sehingga Baginda menangguhkan pemancungan.

Beliau bertanya, “Hai Abu Nawas, apakah engkau tidak merasa ngeri menghadapi pedang algojo?” “Ngeri Tuanku yang mulia, tetapi hamba juga merasa gembira.” jawab Abu Nawas sambil tersenyum. “Engkau merasa gembira?” tanya Baginda kaget. “Betul Baginda yang mulia, karena tepat tiga hari setelah kematian hamba, maka Baginda pun akan mangkat menyusul hamba ke Hang lahat, karena hamba tidak bersalah sedikit pun.” kata Abu Nawas tetap tenang.

Baginda gemetar mendengar ucapan Abu Nawas. dan tentu saja hukuman pancung dibatalkan. Abu Nawas digiring kembali ke penjara. Baginda memerintahkan agar Abu Nawas diperlakukan istimewa. Malah Baginda memerintahkan supaya Abu Nawas disuguhi hidangan yang enak-enak. Tetapi Abu Nawas tetap tidak kerasa tinggal di penjara. Abu Nawas berpesan dan setengah mengancam kepada penjaga penjara bahwa bila ia terus-menerus mendekam dalam penjara ia bisa jatuh sakit atau meninggal Baginda Raja terpaksa membebaskan Abu Nawas setelah mendengar penuturan penjaga penjara.

Cita-cita atau obsesi menghukum Abu Nawas sebenarnya masih bergolak, namun Baginda merasa kehabisan akal untuk menjebak Abu Nawas. Seorang penasihat kerajaan kepercayaan Baginda Raja menyarankan agar Baginda memanggil seorang ilmuwan-ulama yang berilmu tinggi untuk menandingi Abu Nawas. Pasti masih ada peluang untuk mencari kelemahan Abu Nawas. Menjebak pencuri harus dengan pencuri.Dan ulama dengan ulama. Baginda menerima usul yang cemerlang itu dengan hati bulat.

Setelah ulama yang berilmu tinggi berhasil ditemukan, Baginda Raja menanyakan cara terbaik menjerat Abu Nawas. Ulama itu memberi tahu caracara yang paling jitu kepada Baginda Raja. Baginda Raja manggut-manggut setuju. Wajah Baginda tidak lagi murung. Apalagi ulama itu menegaskan bahwa ramalan Abu Nawas tentang takdir kematian Baginda Raja sama sekali tidak mempunyai dasar yang kuat. Tiada seorang pun manusia yang tahu kapan dan di bumi mana ia akan mati apalagi tentang ajal orang lain.

Ulama andalan Baginda Raja mulai mengadakan persiapan seperlunya untuk memberikan pukulan fatal bagi Abu Nawas. Siasat pun dijalankan sesuai rencana. Abu Nawas terjerembab ke lubang siasat sang ulama. Abu Nawas melakukan kesalahan yang bisa menghantarnya ke tiang gantungan atau tempat pemancungan.

Benarlah peribahasa yang berbunyi sepandai-pandai tupai melompat pasti suatu saat akan terpeleset. Kini, Abu Nawas benar-benar mati kutu. Sebentar lagi ia akan dihukum mati karena jebakan sang ilmuwan-ulama. Benarkah Abu Nawas sudah keok? Kita lihat saja nanti. Banyak orang yang merasa simpati atas nasib Abu Nawas, terutama orang-orang miskin dan tertindas yang pernah ditolongnya. Namun derai air mata para pecinta dan pengagum Abu Nawas tak akan mampu menghentikan hukuman mati yang akan dijatuhkan.

Baginda Raja Harun Al Rasyid benar-benar menikmati kernenangannya. Belum pernah Baginda terlihat seriang sekarang. Keyakinan orang banyak bertambah mantap. Hanya sat orang yang tetap tidak yakin bahwa hidup Abu Nawas aka berakhir setragis itu, yaitu istri Abu Nawas. Bukankah Alia Azza Wa Jalla lebih dekat daripada urat leher. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah Yang Maha Gagah. Dan kematian adalah mutlak urusan-Nya. Semakin dekat hukuman mati bagi Abu Nawas. Orang banyak semakin resah. Tetapi bagi Abu Nawas malah sebaliknya. Semakin dekat hukuman bagi dirinya, semakin tegar hatinya.

Baginda Raja tahu bahwa ketenangan yang ditampilkan Abu Nawas hanyalah merupakan bagian dari tipu dayanya. Tetapi Baginda Raja telah bersumpah pada diri sendiri bahwa beliau tidak akan terkecoh untuk kedua kalinya. Sebaliknya Abu Nawas juga yakin, selama nyawa masih melekat maka harapan akan terus menyertainya. Tuhan tidak mungkin menciptakan alam semesta ini tanpa ditaburi harapan-harapan yang menjanjikan. Bahkan dalam keadaan yang bagaimanapun gawatnya.

Keyakinan seperti inilah yang tidak dimiliki oleh Baginda Raja dan ulama itu. Seketika suasana menjadi hening, sewaktu Bagin Raja memberi sambutan singkattentang akan dilaksanakan hukuman mati atas diri terpidana mati Abu Nawas. Kemudian tanpa memperpanjang waktu lagi Baginda Raja menanyakan permintaan terakhir Abu Nawas. Dan pertanyaan inilah yang paling dinantinantikan Abu Nawas.

“Adakah permintaan yang terakhir” “Ada Paduka yang mulia.” jawab Abu Nawas singkat. “Sebutkan.” kata Baginda. “Sudilah kiranya hamba diperkenankan memilih hukuman mati yang hamba anggap cocok wahai Baginda yang mulia.” pinta Abu Nawas. “Baiklah.” kata Baginda menyetujui permintaan Abu Nawas. “Paduka yang mulia, yang hamba pinta adalah bila pilihan hamba benar hamba bersedia dihukum pancung, tetapi jika pilihan hamba dianggap salah maka hamba dihukum gantung saja.” kata Abu Nawas memohon. “Engkau memang orang yang aneh. Dalam saat-saat yang amat genting pun engkau masih sempat bersenda gurau. Tetapi ketahuilah bagiku segala tipu muslihatmu hari ini tak akan bisa membawamu kemana-mana.” kata Baginda sambil tertawa. “Hamba tidak bersenda gurau Paduka yang mulia.” kata Abu Nawas bersungguhsungguh. Baginda makin terpingkal-pingkal. Belum selesai Baginda Raja tertawa-tawa, Abu Nawas berteriak dengan nyaring. “Hamba minta dihukum pancung!”

Semua yang hadir kaget. Orang banyak belum mengerti mengapa Abu Nawas membuat keputusan begitu. Tetapi kecerdasan otak Baginda Raja menangkap sesuatu yang lain. Sehingga tawa Baginda yang semula berderai-derai mendadak terhenti. Kening Baginda berkenyit mendengar ucapan Abu Nawas. Baginda Raja tidak berani menarik kata-katanya karena disaksikan oleh ribuan rakyatnya. Beliau sudah terlanjur mengabulkan Abu Nawas menentukan hukuman mati yang paling cocok untuk dirinya. Kini kesempatan Abu Nawas membela diri. “Baginda yang mulia, hamba tadi mengatakan bahwa hamba akan dihukum pancung. Kalau pilihan hamba benar maka hamba dihukum gantung. Tetapi di manakah letak kesalahan pilihan hamba sehingga hamba harus dihukum gantung. Padahal hamba telah memilih hukuman pancung?”

Olah kata Abu Nawas memaksa Baginda Raja dan ulama itu tercengang. Benarbenar luar biasa otak Abu Nawas ini. Rasanya tidak ada lagi manusia pintar selain Abu Nawas di negeri Baghdad ini. “Abu Nawas aku mengampunimu, tapi sekarang jawablah pertanyaanku ini. Berapa banyakkah bintang di langit?” “Oh, gampang sekali Tuanku.” “Iya, tapi berapa, seratus juta, seratus milyar?” tanya Baginda. “Bukan Tuanku, cuma sebanyak pasir di pantai.” “Kau ini…. bagaimana bisa orang menghitung pasir di pantai?” “Bagaimana pula orang bisa menghitung bintang di langit?” “Ha ha ha ha ha…! Kau memang penggeli hati.

Kau adalah pelipur laraku. Abu Nawas mulai sekarang jangan segan-segan, sering-seringlah datang ke istanaku. Aku ingin selalu mendengar lelucon leluconmu yang baru!” “Siap Baginda !”